Jakarta,
Juni 2011
Namanya Sukma. Aku biasanya memanggilnya
Mbak Sukma. Umurnya lebih tua dua tahun dari ku. Badannya tinggi kurus,
kulitnya sawo matang, sekilas siapa saja bisa menebak benar kalau ia adalah
orang Jawa. Sukma mandiri dan memiliki pendirian. Beberapa tahun silam, kami
kadang berbagi kisah.
"Jadi perempuan tidak boleh
lemah", sabdanya. Ia berbicara dengan muka yang tegas. Aku melihat rautnya
yang ayu.
Kami berjalan menyusuri gang kecil di
daerah Jakarta Selatan. Satu tahun lebih yang lalu, waktu ashar hampir habis
tapi kami belum menemukan mushola.
"Iya mbak", aku mengangguk
sambil tersenyum padanya.
Ia kembali tersenyum pada ku dan anak-anak
kecil yang sedang bermain disekitar gang.
"Jadi perempuan juga nggak boleh
ketergantungan sama laki-laki ran", katanya lagi sambil tengok kanan kiri,
barangkali mushola yang kita cari sudah lewat.
Aku tersenyum tipis mendengar
perkataannya, merasa tersindir.
"Ran, ini mana ya musholanya? Coba
kamu tanya bapak-bapak itu deh".
"Mbak Sukma aja deh yang tanya, Rana
malu", kata ku sambil nyengir.
"Malu bertanya sesat di jalan, gimana
sih Ran tanya gitu aja malu".
Kami melanjutkan perjalanan setelah
mendapat arahan dari bapak tersebut. Mbak Sukma yang bertanya. Saat itu, aku
masih seperti anak kecil di hadapannya.
"Nah, ketemu juga akhirnya", aku
melihat senyum manisnya dibalik kerudung hitam itu.
Setelah sepuluh menit, kami bergegas
kembali ke sebuah rumah rekaman.
Kami berjalan menyusuri
gang yang sudah hampir gelap. Sebagian lampu-lampu rumah warga sudah menyala.
Ada yang berkecimuk di hati dan fikiran ku, menembus sinar-sinar lampu.
Sepanjang perjalanan, aku dan Mbak Sukma sama-sama diam. Entah siapa yang
menyembunyikan dari siapa. Aku mengingat-ingat ucapannya ketika kami sedang
mencari mushola tadi. Ada benarnya juga. Mbak Sukma tahu pasti apa yang
terjadi.
Semarang, Juni 2011
Selamat datang Semarang. Ucapku dalam hati
saat sampai di Semarang. Aku sudah jauh melangkah. Aku melihat langit Semarang.
Masih sama seperti langit Jakarta. Sena, apa kabar dengannya? Kami bertemu
terakhir kemarin sore. Ia mengantar ku membeli keperluan untuk di Semarang.
“Ayo Rana, kopernya di bawa, jangan
bengong terus”, ibu tertawa kecil melihat muka ku yang bingung.
Aku membuka pintu kamar, debu-debu
menyambut kedatangan penghuni baru.
Ibu membantu aku membersihkan kamar kos
ku, menyusun barang-barang bawaan ku.
Aku pasti akan merindukan ibu.
“Nanti seminggu sekali bisa main ke rumah
Tante Dian. Tante Dian sudah seperti adik ibu loh, Ran. Tante Dian juga pandai
memasak, kamu belajar lah sama dia”.
Ibu menceritakan sosok sahabatnya. Ibu dan
Tante Dian bersahabat sejak di bangku SMA.
“Ya kalau nggak sempet seminggu sekali,
dua minggu sekali juga boleh”, sambung ibu.
Aku mengangguk dan mengingat wajah Tante
Dian. Aku tidak ingat terakhir kali bertemu dengannya saat aku berumur berapa.
Mungkin aku masih berumur delapan tahun. Saat Tante Dian tinggal di Jakarta, ia
sering mengunjungi ibu. Tapi itu sudah lama sekali. Aku hampir lupa wajah Tante
Dian, yang kata ibu, ia senyumnya sangat manis seperti cake yang sering dibuatnya.
“Sudah selesai beres-beresnya bu? Ibu sama
anak kok sama aja, sama-sama suka gosip”, ayah datang terkekeh sambil membawa
minuman untuk kami.
“Ini bukan gosip yah. Ibu tuh lagi cerita
tentang Tante Dian ke Rana. Ayah ingat Dian kan? Itu loh sahabat ibu yang suka
main ke rumah waktu Rana masih kecil”, ibu berbicara penuh semangat.
“Iya, nanti kita coba hubungi Dian ya bu
untuk menitip Rana”, kata ayah.
Ibu membetulkan jilbabnya dan mengajak ku
keluar kamar bersama ayah. Kami harus pergi ke kampus untuk mengurus
surat-suratku.
“Sebentar bu, ini yang terakhir”, aku
meletakkan foto ku bersama Sena di meja belajar. Itu adalah foto yang paling ku
sukai. Foto box bersama kekasih menjadi hal yang wajar dilakukan pada masa putih
abu-abu.
Jakarta, Juni 2011
"Could
it be love, could it be love, could it be, could it be,could it be love....",
Sukma berdendang diiringi gitar akustik yang dimainkan oleh seorang drummer
dari grup bandnya.
Ia menyanyikan beberapa buah lagu. Kami
masih di rumah rekaman. Asap rokok mengepul di sekitar kami. Bukan kami yang
merokok, tapi personel grup bandnya. Aku menahan napas. Sedikit tidak ikhlas
paru-paru ku di aliri gas beracun tersebut. Aku hanya diam diantara mereka. Ya,
memang selalu begitu.
"Ran maaaf ya lama, kamu nggak
apa-apa kan?", tanya Sena sambil meraih tangan ku.
"Nggak apa-apa kok", jawab ku
seraya tersenyum.
Hari ini, aku mati-matian menemaninya
karena kita akan jarang bertemu. Aku harus pergi ke luar kota minggu ini.
Sena mengambil gitar dan Sukma kembali
bernyanyi. Jika dibandingkan dengan Rian, si drummer, Mbak Sukma lebih cocok
bernyanyi dengannya ketimbang harus bernyanyi bersama Sena. Kabarnya, ada
kedekatan lebih antara Mbak Sukma dan Rian. Aku setuju itu. Mbak Sukma baik, ia
pantas mendapatkan laki-laki yang baik juga.
"Jadi, kapan kamu berangkat?",
tanya Mbak Sukma membuka obrolan. Sepertinya, ia bisa membaca gelagat ku yang
mulai bosan.
"Tiga hari lagi mbak, aku titip Sena
ya", kata ku sambil memamerkan gigi-gigi ku.
Ia tertawa kecil kemudian menjawab,
"Siap, tenang aja Ran".
Sena dan personel lainnya sedang di dalam
dapur rekaman. Di sela-sela latihan pun, ketika aku datang, aku selalu ditemani
Mbak Sukma. Ia bercerita tentang kesibukannya, tentang dunia perkuliahannya.
“Ran, udah malem loh ini, kamu nggak di
cariin orang tua mu?”, pertanyaan Mbak Sukma membuyarkan lamunan ku.
“Engga mbak, tadi aku udah izin kok.
Lagipula, kapan lagi aku ketemu Sena”, aku manarik nafas panjang membayangkan
satu minggu ke depan, dua minggu ke depan, tiga minggu ke depan, ah sudahlah.
“Iya ya, pasti nanti jarang pulang,
hati-hati ya Ran disana”, Sukma tersenyum dan aku merasa ia benar-benar seperti
sosok mbak ku.
Aku menggangguk pasti dan membalas
senyumannya.
“Sukma, nyanyi lagi yuk, masih lama banget
nih”, Rian datang membawa gitar dan menghampiri Sukma.
Sukma berdendang, menghayati lagu yang ia
nyanyikan, ia sempat mengajak ku bernyanyi bersama. Tapi, aku menolaknya. Aku tidak
berbakat dalam hal menyanyi. Sena tahu itu. Sekitar jam 10 malam kami
meninggalkan rumah rekaman. Sebelum pulang, aku berbincang dan melepas rindu
dengan Sena. Aku mampir ke rumah Sena dan berpamitan dengan ibunya. Sena tidak
mengantar ku. Aku pulang bersama Mbak Sukma, dengan sepeda motornya. Rumah kami
searah.
“Sukma, titip Rana ya”, Sena tersenyum
kepada Sukma sambil mengusap kepala ku.
Malam itu, di halaman depan rumah Sena,
Sukma seperti tempat penitipan bagi aku dan Sena. Sukma seperti dipercaya oleh
kami berdua. Mungkin, karena ia satu-satunya perempuan yang ada di grup band
ini. Satu-satunya perempuan selain aku.
“Pasti aku jagain Sen”, Sukma bersabda.
Aku senang sekali bisa mengenal sosok Mbak
Sukma, sepertinya Sena juga senang.
Semarang,
Juni 2011
“Ibu sama ayah sudah memutuskan untuk
menginap semalam disini. Ya, untuk nemenin kamu juga kan dan siapa tahu nanti
Tante Dian menghubungi Ibu balik”,kata ibu
“Loh bu, nanti kerjaan ayah gimana?”,
tanya ku
“Oalah kamu ini Ran, ayah kan bisa ambil
cuti satu hari. Iya kan yah?”
“Iya Ran, besok sore mungkin kita baru
pulang”, ayah berkata dan membelokkan mobil ke arah sebuah penginapan.
Aku menuruti perkataan orang tua ku.
Mereka pasti tahu yang terbaik buat aku. Kami menginap di sebuah penginapan, tidak
jauh dari tempat kosan ku. Malamnya, Tante Dian menelfon ibu. Ia memberikan
alamat rumahnya. Ternyata, rumahnya tidak begitu jauh dari sini. Aku percaya
pada ibu, ayah, dan tentu saja pada Tante Dian.
Ini pertama kalinya aku dibawah langit malam
Semarang. Ternyata, Semarang dimalam hari begitu indah. Sepertinya aku mulai
betah disini. Ku coba mengirim pesan singkat untuk Sena. Gagal. Aku coba
menelfonnya. Sayang sekali, nomornya tidak aktif. Ah, mungkin Sena sudah tidur.
Aku memilih untuk beristirahat daripada harus memikirkan Sena.
Pagi harinya, aku bersama ibu dan ayah
mengunjungi rumah Tante Dian. Tidak sulit mencari alamatnya. Ya, semesta kadang
berpihak pada kita. Atau kadang berlawanan dengan kita. Seperti aku yang
menunggu kabar dari Sena. Ku coba mengirimkan pesan singkat kepada Mbak Sukma.
Barangkali, ia bisa membantu ku.
“Ran, dulu tuh ya, Tante Dian kalo ke
rumah, pasti bawain kue buat kamu”, ibu membuka obrolan
“Oh ya bu? Aku hanya ingat sedikit bu”,
aku mengerutkan alis. “Bu, kenapa Tante Dian harus pindah kesini?”,tanya ku.
“Tante Dian dulu menikah dengan orang
Jakarta. Setelah memiliki seorang anak, mereka bercerai. Anaknya dibawa oleh
suaminya. Makanya, Tante Dian memilih pindah ke Semarang untuk tinggal bersama
adiknya”.
Aku mengangguk mendengar cerita ibu. aku
bersyukur sekali karena orang tua ku tidak berpisah. Mobil kami berhenti di
depan sebuah rumah. Rumah yang sangat sederhana. Jika dilihat dari desainnya,
rumah Tante Dian seperti rumah-rumah lama. Aku melihat pagarnya yang masih
terawat, juga tanaman-tanaman hias yang tersusun apik.
“Asri!”, seorang perempuan keluar dari
pintu dan segera membukakan pagar.
“Dian! Ya ampun, kamu apa kabar?”, ibu dan
Tante Dian saling mencium pipi kanan dan kiri.
“Rana! Kamu sudah besar sekarang. Cantik
sekali seperti ibu mu. Dulu tuh ya, waktu tante main ke rumah, kamu masih suka
nangis”, Tante Dian mengelus rambut ku.
“Ah tante aku jadi malu”, aku terisipu
mendengar cerita Tante Dian.
Kami duduk diruang tamu. Aku melihat
sekeliling ruang. Tante Dian sangat cerdas menata ruangan ini. Aku juga
terkesima dengan halaman rumahnya.
“Ayo, dimakan dulu kuenya”, Tante Dian
menghidangkan kami kue kering buatannya. “Sri, Sri, mbok ya bilang loh dari
kemarin-kemarin. Jadi kan Rana nggak perlu cari kosan”, sambungnya.
“Aku sengaja, biar dia mandiri”, jawab ibu
sambil tertawa kecil.
“Yasudah, nanti kalo akhir pekan, menginap
dirumah tante ya. Tante disini hanya tinggal bersama Mbak Ana, adik tante.
Nanti kalau kamu main, kita bikin kue sama-sama. Sekali-sekali juga boleh main
ke toko tante”, ajaknya.
“Wah terimakasih banyak, Di. Semoga Rana
nggak merepotkan ya”, timpal ayah.
Aku menyenggol tangan
ayah sambil cemberut. Mereka tertawa melihatnya. Aku seperti sudah lama
mengenal Tante Dian. Aku tak sabar belajar membuat kue bersamanya. Kue tersebut
akan kuberikan untuk ayah, ibu, juga Sena. Ah, Sena lagi. Sena benar-benar
tidak bisa dihubungi. Tiba-tiba handphone ku bergetar, ah itu pasti Sena!
Dugaan ku meleset.
Sebuah pesan singkat dikirim oleh Mbak Sukma ‘Sena baik-baik saja Ran’.
Sena tak memberikan ku
kabar. Sampai ayah dan ibu kembali ke Jakarta, Sena tetap tak mengabari ku.
Satu minggu sudah Sena tak kunjung mengabari ku. Aku banyak bercerita dengan
Mbak Sukma. Ia benar-benar pendengar yang baik.
“Harus kuat Ran”,
sabdanya.
Aku mengangguk saat aku
menelfon Mbak Sukma. Ia juga meyakinkan ku, bahwa Sena pasti akan menghubungi
ku. Benar saja, esoknya Sena menelfon ku. Sena sangat berbeda. Suaranya datar
dan tegas. Ia sama sekali tak menanyakan kabar ku. Ia hanya meminta maaf dan
memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Jarak yang terlalu jauh menjadi
penghalang baginya. Tangis ku pecah saat Sena berkata seperti itu. Sena hanya
diam. Ia sudah tak menginginkan hubungan ini terus berjalan. Telfon ditutup
begitu saja olehnya. Aku menangis sendiri di kamar kos. Bagaimana mungkin Sena
tak mendukung ku disini. Aku kembali ingat sabda Mbak Sukma. Mbak Sukma benar.
Semarang, Agustus 2011
“Iya, aduk-aduk seperti
itu Ran sampai semua bahan tercampur rata”, jelas Tante Dian.
Sudah hampir dua bulan
aku di Semarang. Aku semakin lupa mengenai Sena. Aku merasa jauh lebih tenang
bersama Tante Dian. Ia mengingatkan ku pada seseorang.
“Tante, engggg....”,
“Iya Ran? Mau ngomong
apa kok ragu-ragu seperti itu?”, tanyanya.
“Anak tante bisa buat
kue juga?”
“Hmm, sejak anak tante
tinggal bersama bapaknya, tante jarang sekali bertemu dengannya. Mungkin hanya
pada saat hari raya. Pernah sih beberapa kali, tante ajarkan ia membuat kue.
Tapi tante nggak tahu apa ia terus melatih kemampuannya atau tidak”, jawabnya.
“Wah sayang banget ya
tante, padahal tante jago banget buat kue”, kataku sambil mencetak adonan yang
sudah kalis.
“Tante masih harus
belajar kok. Makanya, kamu sering-sering kesini ya Ran, temenin Tante”,
katanya.
Aku menjawabnya dengan
sebuah anggukan. Tante Dian sudah seperti ibu ku. Ia sangat penyayang.
“Minggu depan, anak
tante mau kesini. kamu ada acara nggak Ran?”
“Aku nggak ada jadwal
kok tante minggu depan”
“Bagus kalau begitu,
minggu depan kita bisa masak bareng anak tante”, ia tersenyum manis. Wajahnya
ayu sekali.
Aku senang sekali bisa
mengenal Tante Dian. Ia benar-benar baik. Pantas saja ibu ingin menitipkan aku
dengannya. Minggu depan aku datang kembali ke rumah yang menurutku sangat
nyaman itu. Pintu rumah Tante Dian terbuka lebar. Ku lihat ada dua sosok yang
aku kenal membelakangi ku. Mereka duduk diruang televisi. Mereka seperti....
“Loh Ran, kenapa diam di
situ? Sini masuk”, suara tante Dian mengagetkan ku. Tante Dian mengajak ku
masuk kedalam. Ia mengandeng tangan ku. “Ini anak tante, namanya Sukma. Ini
pacarnya Sukma, Sena”.
Entah siapa yang
menyembunyikan dari siapa. Semesta kini berputar. Aku dulu menitipkan Sena pada
Mbak Sukma. Kini, aku dititipkan ibu oleh Tante Dian. Siapa yang tahu Mbak
Sukma adalah anaknya Tante Dian. Kebetulan macam apa ini. Siapa pula yang tahu
mereka berpacaran, entah sejak kapan. Jantungku rasanya berhenti berdegup.
Memoriku berlarian ke beberapa bulan yang lalu. Saat Sena dan Mbak Sukma
berdendang. Dengan seenaknya, memori ku sigap mengingat sabda Mbak Sukma. Siapa
pula yang tahu, sabda Mbak Sukma hanya wacana belaka.
“Maafkan aku, Ran”, Mbak
Sukma bersabda.