Tuesday, February 12, 2013

Sukma Bersabda


Jakarta,  Juni 2011

Namanya Sukma. Aku biasanya memanggilnya Mbak Sukma. Umurnya lebih tua dua tahun dari ku. Badannya tinggi kurus, kulitnya sawo matang, sekilas siapa saja bisa menebak benar kalau ia adalah orang Jawa. Sukma mandiri dan memiliki pendirian. Beberapa tahun silam, kami kadang berbagi kisah.
"Jadi perempuan tidak boleh lemah", sabdanya. Ia berbicara dengan muka yang tegas. Aku melihat rautnya yang ayu.
Kami berjalan menyusuri gang kecil di daerah Jakarta Selatan. Satu tahun lebih yang lalu, waktu ashar hampir habis tapi kami belum menemukan mushola.
"Iya mbak", aku mengangguk sambil tersenyum padanya.
Ia kembali tersenyum pada ku dan anak-anak kecil yang sedang bermain disekitar gang.
"Jadi perempuan juga nggak boleh ketergantungan sama laki-laki ran", katanya lagi sambil tengok kanan kiri, barangkali mushola yang kita cari sudah lewat.
Aku tersenyum tipis mendengar perkataannya, merasa tersindir. 
"Ran, ini mana ya musholanya? Coba kamu tanya bapak-bapak itu deh".
"Mbak Sukma aja deh yang tanya, Rana malu", kata ku sambil nyengir.
"Malu bertanya sesat di jalan, gimana sih Ran tanya gitu aja malu".
Kami melanjutkan perjalanan setelah mendapat arahan dari bapak tersebut. Mbak Sukma yang bertanya. Saat itu, aku masih seperti anak kecil di hadapannya.
"Nah, ketemu juga akhirnya", aku melihat senyum manisnya dibalik kerudung hitam itu.
Setelah sepuluh menit, kami bergegas kembali ke sebuah rumah rekaman.
Kami berjalan menyusuri gang yang sudah hampir gelap. Sebagian lampu-lampu rumah warga sudah menyala. Ada yang berkecimuk di hati dan fikiran ku, menembus sinar-sinar lampu. Sepanjang perjalanan, aku dan Mbak Sukma sama-sama diam. Entah siapa yang menyembunyikan dari siapa. Aku mengingat-ingat ucapannya ketika kami sedang mencari mushola tadi. Ada benarnya juga. Mbak Sukma tahu pasti apa yang terjadi.

                                                                        
Semarang, Juni 2011

Selamat datang Semarang. Ucapku dalam hati saat sampai di Semarang. Aku sudah jauh melangkah. Aku melihat langit Semarang. Masih sama seperti langit Jakarta. Sena, apa kabar dengannya? Kami bertemu terakhir kemarin sore. Ia mengantar ku membeli keperluan untuk di Semarang.
“Ayo Rana, kopernya di bawa, jangan bengong terus”, ibu tertawa kecil melihat muka ku yang bingung.
Aku membuka pintu kamar, debu-debu menyambut kedatangan penghuni baru.
Ibu membantu aku membersihkan kamar kos ku, menyusun barang-barang bawaan ku.
Aku pasti akan merindukan ibu.
“Nanti seminggu sekali bisa main ke rumah Tante Dian. Tante Dian sudah seperti adik ibu loh, Ran. Tante Dian juga pandai memasak, kamu belajar lah sama dia”.
Ibu menceritakan sosok sahabatnya. Ibu dan Tante Dian bersahabat sejak di bangku SMA.
“Ya kalau nggak sempet seminggu sekali, dua minggu sekali juga boleh”, sambung ibu.
Aku mengangguk dan mengingat wajah Tante Dian. Aku tidak ingat terakhir kali bertemu dengannya saat aku berumur berapa. Mungkin aku masih berumur delapan tahun. Saat Tante Dian tinggal di Jakarta, ia sering mengunjungi ibu. Tapi itu sudah lama sekali. Aku hampir lupa wajah Tante Dian, yang kata ibu, ia senyumnya sangat manis seperti cake yang sering dibuatnya.
“Sudah selesai beres-beresnya bu? Ibu sama anak kok sama aja, sama-sama suka gosip”, ayah datang terkekeh sambil membawa minuman untuk kami.
“Ini bukan gosip yah. Ibu tuh lagi cerita tentang Tante Dian ke Rana. Ayah ingat Dian kan? Itu loh sahabat ibu yang suka main ke rumah waktu Rana masih kecil”, ibu berbicara penuh semangat.
“Iya, nanti kita coba hubungi Dian ya bu untuk menitip Rana”, kata ayah.
Ibu membetulkan jilbabnya dan mengajak ku keluar kamar bersama ayah. Kami harus pergi ke kampus untuk mengurus surat-suratku.
“Sebentar bu, ini yang terakhir”, aku meletakkan foto ku bersama Sena di meja belajar. Itu adalah foto yang paling ku sukai. Foto box bersama kekasih menjadi hal yang wajar dilakukan pada masa putih abu-abu.


Jakarta, Juni 2011

"Could it be love, could it be love, could it be, could it be,could it be love....", Sukma berdendang diiringi gitar akustik yang dimainkan oleh seorang drummer dari grup bandnya.
Ia menyanyikan beberapa buah lagu. Kami masih di rumah rekaman. Asap rokok mengepul di sekitar kami. Bukan kami yang merokok, tapi personel grup bandnya. Aku menahan napas. Sedikit tidak ikhlas paru-paru ku di aliri gas beracun tersebut. Aku hanya diam diantara mereka. Ya, memang selalu begitu.
"Ran maaaf ya lama, kamu nggak apa-apa kan?", tanya Sena sambil meraih tangan ku. 
"Nggak apa-apa kok", jawab ku seraya tersenyum.
Hari ini, aku mati-matian menemaninya karena kita akan jarang bertemu. Aku harus pergi ke luar kota minggu ini.
Sena mengambil gitar dan Sukma kembali bernyanyi. Jika dibandingkan dengan Rian, si drummer, Mbak Sukma lebih cocok bernyanyi dengannya ketimbang harus bernyanyi bersama Sena. Kabarnya, ada kedekatan lebih antara Mbak Sukma dan Rian. Aku setuju itu. Mbak Sukma baik, ia pantas mendapatkan laki-laki yang baik juga.
"Jadi, kapan kamu berangkat?", tanya Mbak Sukma membuka obrolan. Sepertinya, ia bisa membaca gelagat ku yang mulai bosan.  
"Tiga hari lagi mbak, aku titip Sena ya", kata ku sambil memamerkan gigi-gigi ku.
Ia tertawa kecil kemudian menjawab, "Siap, tenang aja Ran".
Sena dan personel lainnya sedang di dalam dapur rekaman. Di sela-sela latihan pun, ketika aku datang, aku selalu ditemani Mbak Sukma. Ia bercerita tentang kesibukannya, tentang dunia perkuliahannya.
“Ran, udah malem loh ini, kamu nggak di cariin orang tua mu?”, pertanyaan Mbak Sukma membuyarkan lamunan ku.
“Engga mbak, tadi aku udah izin kok. Lagipula, kapan lagi aku ketemu Sena”, aku manarik nafas panjang membayangkan satu minggu ke depan, dua minggu ke depan, tiga minggu ke depan, ah sudahlah.
“Iya ya, pasti nanti jarang pulang, hati-hati ya Ran disana”, Sukma tersenyum dan aku merasa ia benar-benar seperti sosok mbak ku.
Aku menggangguk pasti dan membalas senyumannya.
“Sukma, nyanyi lagi yuk, masih lama banget nih”, Rian datang membawa gitar dan menghampiri Sukma.
Sukma berdendang, menghayati lagu yang ia nyanyikan, ia sempat mengajak ku bernyanyi bersama. Tapi, aku menolaknya. Aku tidak berbakat dalam hal menyanyi. Sena tahu itu. Sekitar jam 10 malam kami meninggalkan rumah rekaman. Sebelum pulang, aku berbincang dan melepas rindu dengan Sena. Aku mampir ke rumah Sena dan berpamitan dengan ibunya. Sena tidak mengantar ku. Aku pulang bersama Mbak Sukma, dengan sepeda motornya. Rumah kami searah.
“Sukma, titip Rana ya”, Sena tersenyum kepada Sukma sambil mengusap kepala ku.
Malam itu, di halaman depan rumah Sena, Sukma seperti tempat penitipan bagi aku dan Sena. Sukma seperti dipercaya oleh kami berdua. Mungkin, karena ia satu-satunya perempuan yang ada di grup band ini. Satu-satunya perempuan selain aku.
“Pasti aku jagain Sen”, Sukma bersabda.
Aku senang sekali bisa mengenal sosok Mbak Sukma, sepertinya Sena juga senang.


Semarang,  Juni 2011

“Ibu sama ayah sudah memutuskan untuk menginap semalam disini. Ya, untuk nemenin kamu juga kan dan siapa tahu nanti Tante Dian menghubungi Ibu balik”,kata ibu
“Loh bu, nanti kerjaan ayah gimana?”, tanya ku
“Oalah kamu ini Ran, ayah kan bisa ambil cuti satu hari. Iya kan yah?”
“Iya Ran, besok sore mungkin kita baru pulang”, ayah berkata dan membelokkan mobil ke arah sebuah penginapan.
Aku menuruti perkataan orang tua ku. Mereka pasti tahu yang terbaik buat aku. Kami menginap di sebuah penginapan, tidak jauh dari tempat kosan ku. Malamnya, Tante Dian menelfon ibu. Ia memberikan alamat rumahnya. Ternyata, rumahnya tidak begitu jauh dari sini. Aku percaya pada ibu, ayah, dan tentu saja pada Tante Dian.

Ini pertama kalinya aku dibawah langit malam Semarang. Ternyata, Semarang dimalam hari begitu indah. Sepertinya aku mulai betah disini. Ku coba mengirim pesan singkat untuk Sena. Gagal. Aku coba menelfonnya. Sayang sekali, nomornya tidak aktif. Ah, mungkin Sena sudah tidur. Aku memilih untuk beristirahat daripada harus memikirkan Sena.

Pagi harinya, aku bersama ibu dan ayah mengunjungi rumah Tante Dian. Tidak sulit mencari alamatnya. Ya, semesta kadang berpihak pada kita. Atau kadang berlawanan dengan kita. Seperti aku yang menunggu kabar dari Sena. Ku coba mengirimkan pesan singkat kepada Mbak Sukma. Barangkali, ia bisa membantu ku.
“Ran, dulu tuh ya, Tante Dian kalo ke rumah, pasti bawain kue buat kamu”, ibu membuka obrolan
“Oh ya bu? Aku hanya ingat sedikit bu”, aku mengerutkan alis. “Bu, kenapa Tante Dian harus pindah kesini?”,tanya ku.
“Tante Dian dulu menikah dengan orang Jakarta. Setelah memiliki seorang anak, mereka bercerai. Anaknya dibawa oleh suaminya. Makanya, Tante Dian memilih pindah ke Semarang untuk tinggal bersama adiknya”.
Aku mengangguk mendengar cerita ibu. aku bersyukur sekali karena orang tua ku tidak berpisah. Mobil kami berhenti di depan sebuah rumah. Rumah yang sangat sederhana. Jika dilihat dari desainnya, rumah Tante Dian seperti rumah-rumah lama. Aku melihat pagarnya yang masih terawat, juga tanaman-tanaman hias yang tersusun apik.
“Asri!”, seorang perempuan keluar dari pintu dan segera membukakan pagar.
“Dian! Ya ampun, kamu apa kabar?”, ibu dan Tante Dian saling mencium pipi kanan dan kiri.
“Rana! Kamu sudah besar sekarang. Cantik sekali seperti ibu mu. Dulu tuh ya, waktu tante main ke rumah, kamu masih suka nangis”, Tante Dian mengelus rambut ku.
“Ah tante aku jadi malu”, aku terisipu mendengar cerita Tante Dian.
Kami duduk diruang tamu. Aku melihat sekeliling ruang. Tante Dian sangat cerdas menata ruangan ini. Aku juga terkesima dengan halaman rumahnya.
“Ayo, dimakan dulu kuenya”, Tante Dian menghidangkan kami kue kering buatannya. “Sri, Sri, mbok ya bilang loh dari kemarin-kemarin. Jadi kan Rana nggak perlu cari kosan”, sambungnya.
“Aku sengaja, biar dia mandiri”, jawab ibu sambil tertawa kecil.
“Yasudah, nanti kalo akhir pekan, menginap dirumah tante ya. Tante disini hanya tinggal bersama Mbak Ana, adik tante. Nanti kalau kamu main, kita bikin kue sama-sama. Sekali-sekali juga boleh main ke toko tante”, ajaknya.
“Wah terimakasih banyak, Di. Semoga Rana nggak merepotkan ya”, timpal ayah.
Aku menyenggol tangan ayah sambil cemberut. Mereka tertawa melihatnya. Aku seperti sudah lama mengenal Tante Dian. Aku tak sabar belajar membuat kue bersamanya. Kue tersebut akan kuberikan untuk ayah, ibu, juga Sena. Ah, Sena lagi. Sena benar-benar tidak bisa dihubungi. Tiba-tiba handphone ku bergetar, ah itu pasti Sena!
Dugaan ku meleset. Sebuah pesan singkat dikirim oleh Mbak Sukma ‘Sena baik-baik saja Ran’.
Sena tak memberikan ku kabar. Sampai ayah dan ibu kembali ke Jakarta, Sena tetap tak mengabari ku. Satu minggu sudah Sena tak kunjung mengabari ku. Aku banyak bercerita dengan Mbak Sukma. Ia benar-benar pendengar yang baik.
“Harus kuat Ran”, sabdanya.
Aku mengangguk saat aku menelfon Mbak Sukma. Ia juga meyakinkan ku, bahwa Sena pasti akan menghubungi ku. Benar saja, esoknya Sena menelfon ku. Sena sangat berbeda. Suaranya datar dan tegas. Ia sama sekali tak menanyakan kabar ku. Ia hanya meminta maaf dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Jarak yang terlalu jauh menjadi penghalang baginya. Tangis ku pecah saat Sena berkata seperti itu. Sena hanya diam. Ia sudah tak menginginkan hubungan ini terus berjalan. Telfon ditutup begitu saja olehnya. Aku menangis sendiri di kamar kos. Bagaimana mungkin Sena tak mendukung ku disini. Aku kembali ingat sabda Mbak Sukma. Mbak Sukma benar.

Semarang, Agustus 2011

“Iya, aduk-aduk seperti itu Ran sampai semua bahan tercampur rata”, jelas Tante Dian.
Sudah hampir dua bulan aku di Semarang. Aku semakin lupa mengenai Sena. Aku merasa jauh lebih tenang bersama Tante Dian. Ia mengingatkan ku pada seseorang.
“Tante, engggg....”,
“Iya Ran? Mau ngomong apa kok ragu-ragu seperti itu?”, tanyanya.
“Anak tante bisa buat kue juga?”
“Hmm, sejak anak tante tinggal bersama bapaknya, tante jarang sekali bertemu dengannya. Mungkin hanya pada saat hari raya. Pernah sih beberapa kali, tante ajarkan ia membuat kue. Tapi tante nggak tahu apa ia terus melatih kemampuannya atau tidak”, jawabnya.
“Wah sayang banget ya tante, padahal tante jago banget buat kue”, kataku sambil mencetak adonan yang sudah kalis.
“Tante masih harus belajar kok. Makanya, kamu sering-sering kesini ya Ran, temenin Tante”, katanya.
Aku menjawabnya dengan sebuah anggukan. Tante Dian sudah seperti ibu ku. Ia sangat penyayang.
“Minggu depan, anak tante mau kesini. kamu ada acara nggak Ran?”
“Aku nggak ada jadwal kok tante minggu depan”
“Bagus kalau begitu, minggu depan kita bisa masak bareng anak tante”, ia tersenyum manis. Wajahnya ayu sekali.
Aku senang sekali bisa mengenal Tante Dian. Ia benar-benar baik. Pantas saja ibu ingin menitipkan aku dengannya. Minggu depan aku datang kembali ke rumah yang menurutku sangat nyaman itu. Pintu rumah Tante Dian terbuka lebar. Ku lihat ada dua sosok yang aku kenal membelakangi ku. Mereka duduk diruang televisi.  Mereka seperti....
“Loh Ran, kenapa diam di situ? Sini masuk”, suara tante Dian mengagetkan ku. Tante Dian mengajak ku masuk kedalam. Ia mengandeng tangan ku. “Ini anak tante, namanya Sukma. Ini pacarnya Sukma, Sena”.
Entah siapa yang menyembunyikan dari siapa. Semesta kini berputar. Aku dulu menitipkan Sena pada Mbak Sukma. Kini, aku dititipkan ibu oleh Tante Dian. Siapa yang tahu Mbak Sukma adalah anaknya Tante Dian. Kebetulan macam apa ini. Siapa pula yang tahu mereka berpacaran, entah sejak kapan. Jantungku rasanya berhenti berdegup. Memoriku berlarian ke beberapa bulan yang lalu. Saat Sena dan Mbak Sukma berdendang. Dengan seenaknya, memori ku sigap mengingat sabda Mbak Sukma. Siapa pula yang tahu, sabda Mbak Sukma hanya wacana belaka.
“Maafkan aku, Ran”, Mbak Sukma bersabda.

1 comment: