Sunday, February 24, 2013

sebut saja kami (keluarga)

Aku bertanya pada pagi yang sibuk
pada kalian yang menikmati
atau tidak
Tak ku temukan jawaban.

Pena kalian terus bergerak melantunkan
hasil-hasil karya orang
Jemari kalian tak mau kalah
beberapa kalimat hanya untuk sekedar nilai

ya, sebut saja kami (keluarga)

Aku bercerita pada hujan di sore
hari ketika senja tak datang pada kami
Senja selalu kami lewati begitu saja
Sayang

Aku bertanya pada langit malam
Tapi kalian terus menoleh
ke sebrang arah
Disana.

Bibir kalian berkomat-kamit
memanjatkan mantra-mantra
Sayang,
bukan doa

sebut saja kami (keluarga)

diantara kami tak pernah bertegur sapa
tapi sebut saja kami (keluarga)

meski kami pun tak saling berbagi rasa
tapi sebut saja kami (keluarga)

atau kami memang tak menikmati
si pencerah hari, rintik hujan, gelap malam
tapi sebut saja kami (keluarga)


Tuesday, February 12, 2013

Sukma Bersabda


Jakarta,  Juni 2011

Namanya Sukma. Aku biasanya memanggilnya Mbak Sukma. Umurnya lebih tua dua tahun dari ku. Badannya tinggi kurus, kulitnya sawo matang, sekilas siapa saja bisa menebak benar kalau ia adalah orang Jawa. Sukma mandiri dan memiliki pendirian. Beberapa tahun silam, kami kadang berbagi kisah.
"Jadi perempuan tidak boleh lemah", sabdanya. Ia berbicara dengan muka yang tegas. Aku melihat rautnya yang ayu.
Kami berjalan menyusuri gang kecil di daerah Jakarta Selatan. Satu tahun lebih yang lalu, waktu ashar hampir habis tapi kami belum menemukan mushola.
"Iya mbak", aku mengangguk sambil tersenyum padanya.
Ia kembali tersenyum pada ku dan anak-anak kecil yang sedang bermain disekitar gang.
"Jadi perempuan juga nggak boleh ketergantungan sama laki-laki ran", katanya lagi sambil tengok kanan kiri, barangkali mushola yang kita cari sudah lewat.
Aku tersenyum tipis mendengar perkataannya, merasa tersindir. 
"Ran, ini mana ya musholanya? Coba kamu tanya bapak-bapak itu deh".
"Mbak Sukma aja deh yang tanya, Rana malu", kata ku sambil nyengir.
"Malu bertanya sesat di jalan, gimana sih Ran tanya gitu aja malu".
Kami melanjutkan perjalanan setelah mendapat arahan dari bapak tersebut. Mbak Sukma yang bertanya. Saat itu, aku masih seperti anak kecil di hadapannya.
"Nah, ketemu juga akhirnya", aku melihat senyum manisnya dibalik kerudung hitam itu.
Setelah sepuluh menit, kami bergegas kembali ke sebuah rumah rekaman.
Kami berjalan menyusuri gang yang sudah hampir gelap. Sebagian lampu-lampu rumah warga sudah menyala. Ada yang berkecimuk di hati dan fikiran ku, menembus sinar-sinar lampu. Sepanjang perjalanan, aku dan Mbak Sukma sama-sama diam. Entah siapa yang menyembunyikan dari siapa. Aku mengingat-ingat ucapannya ketika kami sedang mencari mushola tadi. Ada benarnya juga. Mbak Sukma tahu pasti apa yang terjadi.

                                                                        
Semarang, Juni 2011

Selamat datang Semarang. Ucapku dalam hati saat sampai di Semarang. Aku sudah jauh melangkah. Aku melihat langit Semarang. Masih sama seperti langit Jakarta. Sena, apa kabar dengannya? Kami bertemu terakhir kemarin sore. Ia mengantar ku membeli keperluan untuk di Semarang.
“Ayo Rana, kopernya di bawa, jangan bengong terus”, ibu tertawa kecil melihat muka ku yang bingung.
Aku membuka pintu kamar, debu-debu menyambut kedatangan penghuni baru.
Ibu membantu aku membersihkan kamar kos ku, menyusun barang-barang bawaan ku.
Aku pasti akan merindukan ibu.
“Nanti seminggu sekali bisa main ke rumah Tante Dian. Tante Dian sudah seperti adik ibu loh, Ran. Tante Dian juga pandai memasak, kamu belajar lah sama dia”.
Ibu menceritakan sosok sahabatnya. Ibu dan Tante Dian bersahabat sejak di bangku SMA.
“Ya kalau nggak sempet seminggu sekali, dua minggu sekali juga boleh”, sambung ibu.
Aku mengangguk dan mengingat wajah Tante Dian. Aku tidak ingat terakhir kali bertemu dengannya saat aku berumur berapa. Mungkin aku masih berumur delapan tahun. Saat Tante Dian tinggal di Jakarta, ia sering mengunjungi ibu. Tapi itu sudah lama sekali. Aku hampir lupa wajah Tante Dian, yang kata ibu, ia senyumnya sangat manis seperti cake yang sering dibuatnya.
“Sudah selesai beres-beresnya bu? Ibu sama anak kok sama aja, sama-sama suka gosip”, ayah datang terkekeh sambil membawa minuman untuk kami.
“Ini bukan gosip yah. Ibu tuh lagi cerita tentang Tante Dian ke Rana. Ayah ingat Dian kan? Itu loh sahabat ibu yang suka main ke rumah waktu Rana masih kecil”, ibu berbicara penuh semangat.
“Iya, nanti kita coba hubungi Dian ya bu untuk menitip Rana”, kata ayah.
Ibu membetulkan jilbabnya dan mengajak ku keluar kamar bersama ayah. Kami harus pergi ke kampus untuk mengurus surat-suratku.
“Sebentar bu, ini yang terakhir”, aku meletakkan foto ku bersama Sena di meja belajar. Itu adalah foto yang paling ku sukai. Foto box bersama kekasih menjadi hal yang wajar dilakukan pada masa putih abu-abu.


Jakarta, Juni 2011

"Could it be love, could it be love, could it be, could it be,could it be love....", Sukma berdendang diiringi gitar akustik yang dimainkan oleh seorang drummer dari grup bandnya.
Ia menyanyikan beberapa buah lagu. Kami masih di rumah rekaman. Asap rokok mengepul di sekitar kami. Bukan kami yang merokok, tapi personel grup bandnya. Aku menahan napas. Sedikit tidak ikhlas paru-paru ku di aliri gas beracun tersebut. Aku hanya diam diantara mereka. Ya, memang selalu begitu.
"Ran maaaf ya lama, kamu nggak apa-apa kan?", tanya Sena sambil meraih tangan ku. 
"Nggak apa-apa kok", jawab ku seraya tersenyum.
Hari ini, aku mati-matian menemaninya karena kita akan jarang bertemu. Aku harus pergi ke luar kota minggu ini.
Sena mengambil gitar dan Sukma kembali bernyanyi. Jika dibandingkan dengan Rian, si drummer, Mbak Sukma lebih cocok bernyanyi dengannya ketimbang harus bernyanyi bersama Sena. Kabarnya, ada kedekatan lebih antara Mbak Sukma dan Rian. Aku setuju itu. Mbak Sukma baik, ia pantas mendapatkan laki-laki yang baik juga.
"Jadi, kapan kamu berangkat?", tanya Mbak Sukma membuka obrolan. Sepertinya, ia bisa membaca gelagat ku yang mulai bosan.  
"Tiga hari lagi mbak, aku titip Sena ya", kata ku sambil memamerkan gigi-gigi ku.
Ia tertawa kecil kemudian menjawab, "Siap, tenang aja Ran".
Sena dan personel lainnya sedang di dalam dapur rekaman. Di sela-sela latihan pun, ketika aku datang, aku selalu ditemani Mbak Sukma. Ia bercerita tentang kesibukannya, tentang dunia perkuliahannya.
“Ran, udah malem loh ini, kamu nggak di cariin orang tua mu?”, pertanyaan Mbak Sukma membuyarkan lamunan ku.
“Engga mbak, tadi aku udah izin kok. Lagipula, kapan lagi aku ketemu Sena”, aku manarik nafas panjang membayangkan satu minggu ke depan, dua minggu ke depan, tiga minggu ke depan, ah sudahlah.
“Iya ya, pasti nanti jarang pulang, hati-hati ya Ran disana”, Sukma tersenyum dan aku merasa ia benar-benar seperti sosok mbak ku.
Aku menggangguk pasti dan membalas senyumannya.
“Sukma, nyanyi lagi yuk, masih lama banget nih”, Rian datang membawa gitar dan menghampiri Sukma.
Sukma berdendang, menghayati lagu yang ia nyanyikan, ia sempat mengajak ku bernyanyi bersama. Tapi, aku menolaknya. Aku tidak berbakat dalam hal menyanyi. Sena tahu itu. Sekitar jam 10 malam kami meninggalkan rumah rekaman. Sebelum pulang, aku berbincang dan melepas rindu dengan Sena. Aku mampir ke rumah Sena dan berpamitan dengan ibunya. Sena tidak mengantar ku. Aku pulang bersama Mbak Sukma, dengan sepeda motornya. Rumah kami searah.
“Sukma, titip Rana ya”, Sena tersenyum kepada Sukma sambil mengusap kepala ku.
Malam itu, di halaman depan rumah Sena, Sukma seperti tempat penitipan bagi aku dan Sena. Sukma seperti dipercaya oleh kami berdua. Mungkin, karena ia satu-satunya perempuan yang ada di grup band ini. Satu-satunya perempuan selain aku.
“Pasti aku jagain Sen”, Sukma bersabda.
Aku senang sekali bisa mengenal sosok Mbak Sukma, sepertinya Sena juga senang.


Semarang,  Juni 2011

“Ibu sama ayah sudah memutuskan untuk menginap semalam disini. Ya, untuk nemenin kamu juga kan dan siapa tahu nanti Tante Dian menghubungi Ibu balik”,kata ibu
“Loh bu, nanti kerjaan ayah gimana?”, tanya ku
“Oalah kamu ini Ran, ayah kan bisa ambil cuti satu hari. Iya kan yah?”
“Iya Ran, besok sore mungkin kita baru pulang”, ayah berkata dan membelokkan mobil ke arah sebuah penginapan.
Aku menuruti perkataan orang tua ku. Mereka pasti tahu yang terbaik buat aku. Kami menginap di sebuah penginapan, tidak jauh dari tempat kosan ku. Malamnya, Tante Dian menelfon ibu. Ia memberikan alamat rumahnya. Ternyata, rumahnya tidak begitu jauh dari sini. Aku percaya pada ibu, ayah, dan tentu saja pada Tante Dian.

Ini pertama kalinya aku dibawah langit malam Semarang. Ternyata, Semarang dimalam hari begitu indah. Sepertinya aku mulai betah disini. Ku coba mengirim pesan singkat untuk Sena. Gagal. Aku coba menelfonnya. Sayang sekali, nomornya tidak aktif. Ah, mungkin Sena sudah tidur. Aku memilih untuk beristirahat daripada harus memikirkan Sena.

Pagi harinya, aku bersama ibu dan ayah mengunjungi rumah Tante Dian. Tidak sulit mencari alamatnya. Ya, semesta kadang berpihak pada kita. Atau kadang berlawanan dengan kita. Seperti aku yang menunggu kabar dari Sena. Ku coba mengirimkan pesan singkat kepada Mbak Sukma. Barangkali, ia bisa membantu ku.
“Ran, dulu tuh ya, Tante Dian kalo ke rumah, pasti bawain kue buat kamu”, ibu membuka obrolan
“Oh ya bu? Aku hanya ingat sedikit bu”, aku mengerutkan alis. “Bu, kenapa Tante Dian harus pindah kesini?”,tanya ku.
“Tante Dian dulu menikah dengan orang Jakarta. Setelah memiliki seorang anak, mereka bercerai. Anaknya dibawa oleh suaminya. Makanya, Tante Dian memilih pindah ke Semarang untuk tinggal bersama adiknya”.
Aku mengangguk mendengar cerita ibu. aku bersyukur sekali karena orang tua ku tidak berpisah. Mobil kami berhenti di depan sebuah rumah. Rumah yang sangat sederhana. Jika dilihat dari desainnya, rumah Tante Dian seperti rumah-rumah lama. Aku melihat pagarnya yang masih terawat, juga tanaman-tanaman hias yang tersusun apik.
“Asri!”, seorang perempuan keluar dari pintu dan segera membukakan pagar.
“Dian! Ya ampun, kamu apa kabar?”, ibu dan Tante Dian saling mencium pipi kanan dan kiri.
“Rana! Kamu sudah besar sekarang. Cantik sekali seperti ibu mu. Dulu tuh ya, waktu tante main ke rumah, kamu masih suka nangis”, Tante Dian mengelus rambut ku.
“Ah tante aku jadi malu”, aku terisipu mendengar cerita Tante Dian.
Kami duduk diruang tamu. Aku melihat sekeliling ruang. Tante Dian sangat cerdas menata ruangan ini. Aku juga terkesima dengan halaman rumahnya.
“Ayo, dimakan dulu kuenya”, Tante Dian menghidangkan kami kue kering buatannya. “Sri, Sri, mbok ya bilang loh dari kemarin-kemarin. Jadi kan Rana nggak perlu cari kosan”, sambungnya.
“Aku sengaja, biar dia mandiri”, jawab ibu sambil tertawa kecil.
“Yasudah, nanti kalo akhir pekan, menginap dirumah tante ya. Tante disini hanya tinggal bersama Mbak Ana, adik tante. Nanti kalau kamu main, kita bikin kue sama-sama. Sekali-sekali juga boleh main ke toko tante”, ajaknya.
“Wah terimakasih banyak, Di. Semoga Rana nggak merepotkan ya”, timpal ayah.
Aku menyenggol tangan ayah sambil cemberut. Mereka tertawa melihatnya. Aku seperti sudah lama mengenal Tante Dian. Aku tak sabar belajar membuat kue bersamanya. Kue tersebut akan kuberikan untuk ayah, ibu, juga Sena. Ah, Sena lagi. Sena benar-benar tidak bisa dihubungi. Tiba-tiba handphone ku bergetar, ah itu pasti Sena!
Dugaan ku meleset. Sebuah pesan singkat dikirim oleh Mbak Sukma ‘Sena baik-baik saja Ran’.
Sena tak memberikan ku kabar. Sampai ayah dan ibu kembali ke Jakarta, Sena tetap tak mengabari ku. Satu minggu sudah Sena tak kunjung mengabari ku. Aku banyak bercerita dengan Mbak Sukma. Ia benar-benar pendengar yang baik.
“Harus kuat Ran”, sabdanya.
Aku mengangguk saat aku menelfon Mbak Sukma. Ia juga meyakinkan ku, bahwa Sena pasti akan menghubungi ku. Benar saja, esoknya Sena menelfon ku. Sena sangat berbeda. Suaranya datar dan tegas. Ia sama sekali tak menanyakan kabar ku. Ia hanya meminta maaf dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Jarak yang terlalu jauh menjadi penghalang baginya. Tangis ku pecah saat Sena berkata seperti itu. Sena hanya diam. Ia sudah tak menginginkan hubungan ini terus berjalan. Telfon ditutup begitu saja olehnya. Aku menangis sendiri di kamar kos. Bagaimana mungkin Sena tak mendukung ku disini. Aku kembali ingat sabda Mbak Sukma. Mbak Sukma benar.

Semarang, Agustus 2011

“Iya, aduk-aduk seperti itu Ran sampai semua bahan tercampur rata”, jelas Tante Dian.
Sudah hampir dua bulan aku di Semarang. Aku semakin lupa mengenai Sena. Aku merasa jauh lebih tenang bersama Tante Dian. Ia mengingatkan ku pada seseorang.
“Tante, engggg....”,
“Iya Ran? Mau ngomong apa kok ragu-ragu seperti itu?”, tanyanya.
“Anak tante bisa buat kue juga?”
“Hmm, sejak anak tante tinggal bersama bapaknya, tante jarang sekali bertemu dengannya. Mungkin hanya pada saat hari raya. Pernah sih beberapa kali, tante ajarkan ia membuat kue. Tapi tante nggak tahu apa ia terus melatih kemampuannya atau tidak”, jawabnya.
“Wah sayang banget ya tante, padahal tante jago banget buat kue”, kataku sambil mencetak adonan yang sudah kalis.
“Tante masih harus belajar kok. Makanya, kamu sering-sering kesini ya Ran, temenin Tante”, katanya.
Aku menjawabnya dengan sebuah anggukan. Tante Dian sudah seperti ibu ku. Ia sangat penyayang.
“Minggu depan, anak tante mau kesini. kamu ada acara nggak Ran?”
“Aku nggak ada jadwal kok tante minggu depan”
“Bagus kalau begitu, minggu depan kita bisa masak bareng anak tante”, ia tersenyum manis. Wajahnya ayu sekali.
Aku senang sekali bisa mengenal Tante Dian. Ia benar-benar baik. Pantas saja ibu ingin menitipkan aku dengannya. Minggu depan aku datang kembali ke rumah yang menurutku sangat nyaman itu. Pintu rumah Tante Dian terbuka lebar. Ku lihat ada dua sosok yang aku kenal membelakangi ku. Mereka duduk diruang televisi.  Mereka seperti....
“Loh Ran, kenapa diam di situ? Sini masuk”, suara tante Dian mengagetkan ku. Tante Dian mengajak ku masuk kedalam. Ia mengandeng tangan ku. “Ini anak tante, namanya Sukma. Ini pacarnya Sukma, Sena”.
Entah siapa yang menyembunyikan dari siapa. Semesta kini berputar. Aku dulu menitipkan Sena pada Mbak Sukma. Kini, aku dititipkan ibu oleh Tante Dian. Siapa yang tahu Mbak Sukma adalah anaknya Tante Dian. Kebetulan macam apa ini. Siapa pula yang tahu mereka berpacaran, entah sejak kapan. Jantungku rasanya berhenti berdegup. Memoriku berlarian ke beberapa bulan yang lalu. Saat Sena dan Mbak Sukma berdendang. Dengan seenaknya, memori ku sigap mengingat sabda Mbak Sukma. Siapa pula yang tahu, sabda Mbak Sukma hanya wacana belaka.
“Maafkan aku, Ran”, Mbak Sukma bersabda.

Monday, February 11, 2013

Kekasih Sejati


Aku memegang kartu undangan seraya mondar-mandir di dalam kamar. Badan ku terasa lemas. Aku mencoba menahan tangis dengan menggiggit bibir bawah ku. Namun usaha ku percuma. Air mata ku mengalir begitu deras. Aku duduk lemas di pojok kamar. Fikiran ku kacau. Antara harus datang ke acara tersebut atau tetap diam di rumah sambil mengirimkan doa. Aku manatap baju yang akan ku pakai. Baju hasil jahitan ibu. Aku memejamkan mata, mencoba mengikuti intuisi ku.
“Annisa”, panggil ibu diikuti suara ketukan pintu. Aku diam tak menjawab. Aku mencoba mengatur nafas ku agar ibu tak mengetahui aku sedang menangis.
“Annisa? Kamu sudah rapi belum?”, ibu kembali memanggil dan mengetuk kamar.
“Ya bu. Aku belum rapi”, jawab ku singkat.
“Yasudah, ibu tunggu ya, nis”, aku mendengar suara ibu menjauhi pintu kamar.
Aku menarik nafas panjang. Aku segera beranjak bangun dan bercuci muka. Ku kenakan baju pemberian ibu. Aku hiasi jilbab dengan warna sepadan. Jilbab pertama ku. Aku merasa cantik dengan baju dan jilbab ku. Baju sederhana yang diberikan ibu. Jahitan payet membuat baju putih ini semakin indah. Celana bahan berwarna hitam ku pilih untuk dipadankan dengan baju pemberian ibu. Aku meraih undangan diatas kasur kapuk ku. Ku susul ibu dan bapak yang sudah menunggu. Ku lihat bapak di luar sedang memanaskan kendaraan roda duanya. Tidak terlihat kesedihan yang ada padanya. Bapak tetap bersyukur dengan apa yang dimilikinya.
“Sudah rapi nis?”, bapak seperti tahu aku berdiri mengamatinya dari pintu rumah.
“Sudah pak”, balasku.
Bapak melihat ke arah ku. Ia tersenyum lebar. “Subhanallah, anak bapak cantik sekali”, bapak berjalan menghampiri ku.
“Aku baru saja mencoba pak, belum terlambat, bukan?”, kata ku sambil merapikan jilbab ku.
“Belum ada yang terlambat, nis”, bapak tersenyum senang. “Kamu pakai motor bapak ya nis”.
“Loh pak, jangan. Aku kuliah juga biasanya pakai motor bebek. Motor bapak kan masih baru. Motor automatic kesayangan bapak itu, bapak saja yang pakai bersama ibu”, aku menolak kunci motor yang diberikan bapak.
“Mulai hari ini, kamu pakai motor bapak, nis. Ke kampus juga pakai motor bapak ya. Jadi nggak terlalu capek”, bapak berkata penuh semangat.
Aku diam mendengar tawaran bapak. Selama ini, aku mencoba menyembunyikan keletihan ku. Bapak jauh lebih letih. Tapi bapak tidak ingin membagi keletihannya pada ku.
“Nis, kita memang berasal dari keluarga sederhana. Kita jauh dari kesempurnaan. Namun, jika kita sudah memiliki semua, apalagi yang akan kita cari”, bapak menasehatiku. Beliau tahu apa yang sedang aku rasakan. “Jangan hiraukan mereka yang hanya melihat segalanya melalui harta. Kamu, ibu, dan adik-adik mu jauh lebih berharga dari harta apa pun”.
Aku mendengar dengan baik nasehat dari bapak. Bapak benar. Hubungan ku dengan Abduh berakhir karena orangtua Abduh tak merestui hubungan kami. Dimata orang tua Abduh, aku tidak pantas menjadi pasangan hidup untuk Abduh. Apalagi, saat orang tuanya mengetahui keadaan keluarga ku.
“Sudah Nis, tak usah difikirkan. Jodoh itu ditangan Tuhan”, bapak mengelus kepala ku.
“Iya pak. Annisa mengerti”, aku memberikan bapak senyuman. Senyuman yang paling indah disore ini.
Praaaaaaaaaaaaaaang. Suara dari dalam rumah menganggetkan aku dan bapak. Aku berlari ke dalam rumah dan mencari sumber suara. Dapur. Aku berjalan cepat ke arah dapur.
“Ibuuuu, ibu baik-baik saja?” aku berjongkok dan membereskan pecahan kaca dari gelas.
“Ibu nggak kenapa-kenapa nis”, jawab ibu. Alisnya mengkerut seperti sedang memikirkan sesuatu.
Iqbal, adikku yang masih duduk dibangku SMA membantu ku membersihkan pecahan kaca. Aku suruh ibu duduk saja diruang tamu bersama bapak. “Berikan ini untuk ibu, bal”, kataku menyodorkan segelas air hangat.
“Perasaan ku nggak enak, pak”, ibu memegang lehernya dan terlihat panik.
“Istighfar, bu. Insyaallah, semuanya baik-baik saja”, bapak mencoba menenangkan.
Aku menghampiri ibu dan bapak setelah serpihan kaca sudah dibereskan.
“Ibu dirumah saja”, kata ku seraya memberikan minyak angin kepadanya.
“Ibu ikut, Nis”, kata ibu tegas. “Iqbal, kamu jaga rumah ya, nak. Jaga adik mu, Baddar. Jangan lupa belajar dan kerjakan pekerjaan rumah”.
“Iya bu”, Iqbal menjawab setengah berteriak. Ia sedang dikamar bersama Baddar. Baddar masih duduk dibangku SMP. Iqbal sedang rutin mengajari adiknya yang sebentar lagi akan menghadapi Ujian Nasional.
Aku pergi bersama ibu dan bapak. Bapak memboncengi ibu. Aku sendiri menggunakan sepeda motor bapak. Langit sudah gelap. Jalanan di Jakarta Selatan cukup ramai. Ya, maklum saja ini malam Minggu. Satu bulan lalu, malam seperti ini, Abduh datang ke rumah. Berbicara banyak hal bersama ayah dan ibu, memberikan banyak sesuatu untuk keluargaku. Bahkan, ia bermain dengan kedua adikku. Tapi tidak untuk malam ini.


Aku meraih undangan yang ada di tas ku. Ku lihat sekali lagi nama yang tertera di halaman paling depan. ‘Abduh & Dinar’. Aku pasti kuat. Aku menggenggam erat undangan tersebut. Ini bukan mimpi.
“Ikhlas, Nis”, ibu menghampiri ku. Kami masih berdiri di halaman parkir. Gedung yang disewa sudah ramai. Tamu undangan mulai berdatangan. Aku menjawab perkataan ibu dengan sebuah anggukan dan senyuman. Ibu dan bapak yang membuat ku kuat. Begitu juga kedua adik ku dan kerabat ku. Aku berjanji akan membahagiakan keluarga ku. Aku masih menyelesaikan skripsi. Aku akan cepat menyelesaikannya supaya tahun depan, aku tak perlu membayar uang kuliah. Uang hasil kerja sampingan ku bisa ku tabung untuk adik-adikku.
“Wah, Mbak Annisa, cantik sekali dengan jilbab mu”, kata saudara perempuan Abduh saat aku bertemu dengannya di meja tamu.
“Terimakasih dek, aku masih belajar mengenakannya”, jawabku.
Suasana di dalam gedung begitu ramai. Aku bertemu beberapa temannya Abduh yang ku kenali. Aku juga bertemu dengan sanak saudaranya. Ku berjalan menuju pelaminan bersama orang tua ku. Orang tua dari Abduh menyambut ramah keluarga kami. Entahlah, aku hanya tersenyum miris. Aku menjabat tangan Abduh dan memberikan selamat kepadanya. Tak lupa, aku menjabat tangan Dinar dan mengecup kedua pipinya. Aku berdoa dalam hati. Aku berdoa untuk Abduh dan Dinar. Aku bahagia melihat mereka bahagia. Sungguh. Aku merelakan mantan kekasih ku bersama perempuan lain. Aku ikhlas melihatnya. Aku yakin, Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan umatnya. Aku yakin, ada hikmah yang dapat diambil dari semua ini.
Dunia terasa berhenti saat malam ini. Makanan yang disajikan terasa hambar dilidah. Ku tengok sekeliling gedung mencari sahabatku. Ah, mungkin ia belum datang. Aku tak ingin berlama-lama disini. Aku mengajak ibu dan bapak untuk pulang.
“Annisaa!”, perempuan bertubuh mungil yang sejak tadi kucari, memanggil ku dari kejauhan.
Aku menoleh dan menghampirinya. Ku peluk erat tubuh mungilnya. “Nad”, aku memanggilnya lirih. Kami bertemu di luar gedung. Saat aku dan kedua orang tua ku akan pulang. Aku melepas pelukan Nadya dan menoleh ke arah ibu dan bapak. Ibu mengangguk ke arah ku memberikan isyarat akan pulang terlebih dahulu. Aku menghampiri ibu dan bapak. Ku kecup telapak tangan mereka.
“Hati-hati ya bu, pak”, kata ku.
“Kamu juga hati-hati Annisa”, ibu mengelus kepala ku. “Ibu duluan ya, Nadya”, sambungnya.
“Oh iya bu, pak, hati-hati dijalan ya”, jawab Nadya.
“Nis..kamu semakin cantik”, Nadya terlihat terkejut melihat ku dengan jilbab ku malam ini.
Aku hanya terseyum tipis. Aku tak bisa menyembunyikan kesedihan ku.
“Kamu terlalu baik untuk Abduh. Kamu pantas mendapatkan yang lebih darinya”, Nadya kembali memeluk ku.
“Terimakasih Nad”, hanya itu yang keluar dari mulut ku. Nadya, sahabat ku sejak  duduk dibangku SMA mencoba menenangkan ku. “Maafkan Dinar, Nis”, sambungnya. Ia seperti merasa bersalah. Dinar adalah teman kuliahnya. Mereka sama-sama belajar di perguruan tinggi yang sama, di fakultas yang sama, dan di jurusan yang sama.
“Ini semua bukan salah Dinar, dan nggak ada yang perlu disalahkan, Nad. Ini semua sudah suratan dari Tuhan”, jawabku.
“Kamu yang sabar ya, nis. Kamu hanya perlu waktu untuk menerima semua ini”.
“Aku sudah merelakan Abduh sejak kuputuskan untuk datang kesini”, tangis ku pecah dipelukan Nadya. Aku sendiri bertanya-tanya dalam hati. Air mata kebahagiaan atau kesedihan kah? Setiap kali aku berusaha meyakinkan diri ku juga ikut bahagia, air mata ini semakin tak tertahankan.
“Abduh akan menyesal telah memilih perempuan lain. Atau lebih tepatnya, ibunya yang akan menyesal?”, Nadya sedikit bercanda.
Aku tertawa mendengar kalimat terakhirnya. Ku pamerkan deretan gigi-gigi ku.
“Bareng yuk, Nis. Aku bawa mobil”, ajaknya.
“Nggak usah, aku bawa motor, Nad”, aku menunjukkan kunci motor ku.
“Baiklah, kalau begitu, besok aku kerumah mu Nis. Kangen sam Iqbal dan Baddar yang ganteng-ganteng hehehhehe”, tawanya.
Aku membalasnya dengan tawa. Kami berpisah di halaman parkir setelah berpelukan kembali. Aku merasa sangat tenang setelah bertemu dengan sahabat ku yang satu itu. Abduh, selamat menempuh hidup baru bersama Dinar. Kata ku dalam hati.


Annisa mengendarai sepeda motor milik Bapak. Dikendarainya dengan hati-hati. Itu adalah sepeda motor kesayangan bapak. Semakin malam, jalanan semakin ramai dengan kendaraan roda empat dan roda dua. Ia bersyukur masih bisa menikmati indahnya malam. Ia bersyukur masih memiliki keluarga dan kerabat yang sangat menyayanginya. Wajah mereka terus hadir di dalam benaknya, di sepanjang jalan itu. Ia jadi tak sabar ingin bertemu keluarganya dirumah.
Annisa berhenti di tepi jalan. Iqbal dan Baddar pasti akan senang. Dibelikannya martabak manis untuk kedua adiknya. Ia menatap motor milik bapak yang diparkir dekat tenda penjual martabak. Ah, bapak. Ia tersenyum bahagia. Ia berjanji dalam hati akan membantu bapak, ibu, dan kedua adiknya. Iqbal dan Baddar harus terus bersekolah.
Annisa melewati jalan yang berbeda untuk menghindari kemacetan. Ia melewati rel kereta di daerah Pasar Minggu. Wajah keluarga dan sahabatnya kembali  berkecamuk di benaknya. Ada wajah Abduh dan Dinar. Suasana digedung tadi kembali hadir. Bahkan bergabung dengan suara kereta api. Tuuut tuuuuut. Suara itu semakin dekat. Tapi, wajah mereka jauh lebih dekat. Annis seperti tak mendengar suara kereta api yang berasal dari arah kanannya. Tuuuuuuut tuuuuuuuuuuuuuut tuuuuuuuuuuuut tuuuuutuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuut!!!!!!!!!!!! Seketika, baju dan jilbab putih yang dikenakan Annisa berubah warna menjadi merah.


Ibu menangis tak henti-henti. Bapak, Iqbal, dan Baddar juga tak kuasa menahan tangis. Nadya benar-benar datang keesokannya. Annisa pergi dengan begitu cantik dengan jilbabnya. Ia pergi untuk kekasih yang sebenarnya. Ia pergi untuk bertemu kekasih sejatinya.

Saturday, February 9, 2013

Aku pergi,

Ketika kepulanganku
hanya untuk memeluk ibu
Sebentar saja,
dari pada aku harus menjadi
seperti abu
Ada saatnya harus kembali
memeluk dunia ku, sendiri
Ada saatnya harus kembali
bercengkrama bersama dunia ku, sendiri
Meski berjuta-juta orang,
saling memeluk,
saling bercengkrama,
aku tetap ingin bersama ibu
ketimbang aku harus meratap syahdu

Ketika kepergianku
hanya untuk mencari ilmu
Terlalu lama
Aku selalu menuunggu, saat
dapat berbaginya bersama saudaraku
Aku selalu menunggu, saat
dapat memeluk rumah pertamaku

Bogor, 9 Feb 13