Aku
memegang kartu undangan seraya mondar-mandir di dalam kamar. Badan ku terasa
lemas. Aku mencoba menahan tangis dengan menggiggit bibir bawah ku. Namun usaha
ku percuma. Air mata ku mengalir begitu deras. Aku duduk lemas di pojok kamar. Fikiran
ku kacau. Antara harus datang ke acara tersebut atau tetap diam di rumah sambil
mengirimkan doa. Aku manatap baju yang akan ku pakai. Baju hasil jahitan ibu.
Aku memejamkan mata, mencoba mengikuti intuisi ku.
“Annisa”, panggil ibu
diikuti suara ketukan pintu. Aku diam tak menjawab. Aku mencoba mengatur nafas
ku agar ibu tak mengetahui aku sedang menangis.
“Annisa? Kamu sudah
rapi belum?”, ibu kembali memanggil dan mengetuk kamar.
“Ya bu. Aku belum
rapi”, jawab ku singkat.
“Yasudah, ibu tunggu ya,
nis”, aku mendengar suara ibu menjauhi pintu kamar.
Aku
menarik nafas panjang. Aku segera beranjak bangun dan bercuci muka. Ku kenakan
baju pemberian ibu. Aku hiasi jilbab dengan warna sepadan. Jilbab pertama ku. Aku
merasa cantik dengan baju dan jilbab ku. Baju sederhana yang diberikan ibu.
Jahitan payet membuat baju putih ini semakin indah. Celana bahan berwarna hitam
ku pilih untuk dipadankan dengan baju pemberian ibu. Aku meraih undangan diatas
kasur kapuk ku. Ku susul ibu dan bapak yang sudah menunggu. Ku lihat bapak di
luar sedang memanaskan kendaraan roda duanya. Tidak terlihat kesedihan yang ada
padanya. Bapak tetap bersyukur dengan apa yang dimilikinya.
“Sudah rapi nis?”,
bapak seperti tahu aku berdiri mengamatinya dari pintu rumah.
“Sudah pak”, balasku.
Bapak melihat ke arah
ku. Ia tersenyum lebar. “Subhanallah, anak bapak cantik sekali”, bapak berjalan
menghampiri ku.
“Aku baru saja mencoba
pak, belum terlambat, bukan?”, kata ku sambil merapikan jilbab ku.
“Belum ada yang
terlambat, nis”, bapak tersenyum senang. “Kamu pakai motor bapak ya nis”.
“Loh pak, jangan. Aku
kuliah juga biasanya pakai motor bebek. Motor bapak kan masih baru. Motor automatic kesayangan bapak itu, bapak
saja yang pakai bersama ibu”, aku menolak kunci motor yang diberikan bapak.
“Mulai hari ini, kamu
pakai motor bapak, nis. Ke kampus juga pakai motor bapak ya. Jadi nggak terlalu
capek”, bapak berkata penuh semangat.
Aku diam mendengar
tawaran bapak. Selama ini, aku mencoba menyembunyikan keletihan ku. Bapak jauh
lebih letih. Tapi bapak tidak ingin membagi keletihannya pada ku.
“Nis, kita memang
berasal dari keluarga sederhana. Kita jauh dari kesempurnaan. Namun, jika kita
sudah memiliki semua, apalagi yang akan kita cari”, bapak menasehatiku. Beliau
tahu apa yang sedang aku rasakan. “Jangan hiraukan mereka yang hanya melihat
segalanya melalui harta. Kamu, ibu, dan adik-adik mu jauh lebih berharga dari
harta apa pun”.
Aku
mendengar dengan baik nasehat dari bapak. Bapak benar. Hubungan ku dengan Abduh
berakhir karena orangtua Abduh tak merestui hubungan kami. Dimata orang tua
Abduh, aku tidak pantas menjadi pasangan hidup untuk Abduh. Apalagi, saat orang
tuanya mengetahui keadaan keluarga ku.
“Sudah Nis, tak usah
difikirkan. Jodoh itu ditangan Tuhan”, bapak mengelus kepala ku.
“Iya pak. Annisa
mengerti”, aku memberikan bapak senyuman. Senyuman yang paling indah disore
ini.
Praaaaaaaaaaaaaaang.
Suara
dari dalam rumah menganggetkan aku dan bapak. Aku berlari ke dalam rumah dan
mencari sumber suara. Dapur. Aku berjalan cepat ke arah dapur.
“Ibuuuu, ibu baik-baik
saja?” aku berjongkok dan membereskan pecahan kaca dari gelas.
“Ibu nggak
kenapa-kenapa nis”, jawab ibu. Alisnya mengkerut seperti sedang memikirkan
sesuatu.
Iqbal, adikku yang
masih duduk dibangku SMA membantu ku membersihkan pecahan kaca. Aku suruh ibu
duduk saja diruang tamu bersama bapak. “Berikan ini untuk ibu, bal”, kataku
menyodorkan segelas air hangat.
“Perasaan ku nggak
enak, pak”, ibu memegang lehernya dan terlihat panik.
“Istighfar, bu.
Insyaallah, semuanya baik-baik saja”, bapak mencoba menenangkan.
Aku menghampiri ibu dan
bapak setelah serpihan kaca sudah dibereskan.
“Ibu dirumah saja”,
kata ku seraya memberikan minyak angin kepadanya.
“Ibu ikut, Nis”, kata
ibu tegas. “Iqbal, kamu jaga rumah ya, nak. Jaga adik mu, Baddar. Jangan lupa
belajar dan kerjakan pekerjaan rumah”.
“Iya bu”, Iqbal
menjawab setengah berteriak. Ia sedang dikamar bersama Baddar. Baddar masih
duduk dibangku SMP. Iqbal sedang rutin mengajari adiknya yang sebentar lagi
akan menghadapi Ujian Nasional.
Aku
pergi bersama ibu dan bapak. Bapak memboncengi ibu. Aku sendiri menggunakan
sepeda motor bapak. Langit sudah gelap. Jalanan di Jakarta Selatan cukup ramai.
Ya, maklum saja ini malam Minggu. Satu bulan lalu, malam seperti ini, Abduh
datang ke rumah. Berbicara banyak hal bersama ayah dan ibu, memberikan banyak
sesuatu untuk keluargaku. Bahkan, ia bermain dengan kedua adikku. Tapi tidak
untuk malam ini.
Aku meraih undangan
yang ada di tas ku. Ku lihat sekali lagi nama yang tertera di halaman paling
depan. ‘Abduh & Dinar’. Aku pasti kuat. Aku menggenggam erat undangan
tersebut. Ini bukan mimpi.
“Ikhlas, Nis”, ibu
menghampiri ku. Kami masih berdiri di halaman parkir. Gedung yang disewa sudah
ramai. Tamu undangan mulai berdatangan. Aku menjawab perkataan ibu dengan
sebuah anggukan dan senyuman. Ibu dan bapak yang membuat ku kuat. Begitu juga
kedua adik ku dan kerabat ku. Aku berjanji akan membahagiakan keluarga ku. Aku
masih menyelesaikan skripsi. Aku akan cepat menyelesaikannya supaya tahun
depan, aku tak perlu membayar uang kuliah. Uang hasil kerja sampingan ku bisa
ku tabung untuk adik-adikku.
“Wah, Mbak Annisa, cantik
sekali dengan jilbab mu”, kata saudara perempuan Abduh saat aku bertemu
dengannya di meja tamu.
“Terimakasih dek, aku
masih belajar mengenakannya”, jawabku.
Suasana
di dalam gedung begitu ramai. Aku bertemu beberapa temannya Abduh yang ku
kenali. Aku juga bertemu dengan sanak saudaranya. Ku berjalan menuju pelaminan
bersama orang tua ku. Orang tua dari Abduh menyambut ramah keluarga kami. Entahlah,
aku hanya tersenyum miris. Aku menjabat tangan Abduh dan memberikan selamat
kepadanya. Tak lupa, aku menjabat tangan Dinar dan mengecup kedua pipinya. Aku
berdoa dalam hati. Aku berdoa untuk Abduh dan Dinar. Aku bahagia melihat mereka
bahagia. Sungguh. Aku merelakan mantan kekasih ku bersama perempuan lain. Aku
ikhlas melihatnya. Aku yakin, Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas
kemampuan umatnya. Aku yakin, ada hikmah yang dapat diambil dari semua ini.
Dunia
terasa berhenti saat malam ini. Makanan yang disajikan terasa hambar dilidah.
Ku tengok sekeliling gedung mencari sahabatku. Ah, mungkin ia belum datang. Aku
tak ingin berlama-lama disini. Aku mengajak ibu dan bapak untuk pulang.
“Annisaa!”, perempuan
bertubuh mungil yang sejak tadi kucari, memanggil ku dari kejauhan.
Aku menoleh dan
menghampirinya. Ku peluk erat tubuh mungilnya. “Nad”, aku memanggilnya lirih.
Kami bertemu di luar gedung. Saat aku dan kedua orang tua ku akan pulang. Aku
melepas pelukan Nadya dan menoleh ke arah ibu dan bapak. Ibu mengangguk ke arah
ku memberikan isyarat akan pulang terlebih dahulu. Aku menghampiri ibu dan
bapak. Ku kecup telapak tangan mereka.
“Hati-hati ya bu, pak”,
kata ku.
“Kamu juga hati-hati
Annisa”, ibu mengelus kepala ku. “Ibu duluan ya, Nadya”, sambungnya.
“Oh iya bu, pak,
hati-hati dijalan ya”, jawab Nadya.
“Nis..kamu semakin
cantik”, Nadya terlihat terkejut melihat ku dengan jilbab ku malam ini.
Aku hanya terseyum
tipis. Aku tak bisa menyembunyikan kesedihan ku.
“Kamu terlalu baik
untuk Abduh. Kamu pantas mendapatkan yang lebih darinya”, Nadya kembali memeluk
ku.
“Terimakasih Nad”,
hanya itu yang keluar dari mulut ku. Nadya, sahabat ku sejak duduk dibangku SMA mencoba menenangkan ku.
“Maafkan Dinar, Nis”, sambungnya. Ia seperti merasa bersalah. Dinar adalah
teman kuliahnya. Mereka sama-sama belajar di perguruan tinggi yang sama, di fakultas
yang sama, dan di jurusan yang sama.
“Ini semua bukan salah
Dinar, dan nggak ada yang perlu disalahkan, Nad. Ini semua sudah suratan dari
Tuhan”, jawabku.
“Kamu yang sabar ya,
nis. Kamu hanya perlu waktu untuk menerima semua ini”.
“Aku sudah merelakan
Abduh sejak kuputuskan untuk datang kesini”, tangis ku pecah dipelukan Nadya.
Aku sendiri bertanya-tanya dalam hati. Air mata kebahagiaan atau kesedihan kah?
Setiap kali aku berusaha meyakinkan diri ku juga ikut bahagia, air mata ini
semakin tak tertahankan.
“Abduh akan menyesal
telah memilih perempuan lain. Atau lebih tepatnya, ibunya yang akan menyesal?”,
Nadya sedikit bercanda.
Aku tertawa mendengar
kalimat terakhirnya. Ku pamerkan deretan gigi-gigi ku.
“Bareng yuk, Nis. Aku
bawa mobil”, ajaknya.
“Nggak usah, aku bawa
motor, Nad”, aku menunjukkan kunci motor ku.
“Baiklah, kalau begitu,
besok aku kerumah mu Nis. Kangen sam Iqbal dan Baddar yang ganteng-ganteng
hehehhehe”, tawanya.
Aku membalasnya dengan
tawa. Kami berpisah di halaman parkir setelah berpelukan kembali. Aku merasa
sangat tenang setelah bertemu dengan sahabat ku yang satu itu. Abduh, selamat
menempuh hidup baru bersama Dinar. Kata ku dalam hati.
Annisa mengendarai
sepeda motor milik Bapak. Dikendarainya dengan hati-hati. Itu adalah sepeda
motor kesayangan bapak. Semakin malam, jalanan semakin ramai dengan kendaraan
roda empat dan roda dua. Ia bersyukur masih bisa menikmati indahnya malam. Ia
bersyukur masih memiliki keluarga dan kerabat yang sangat menyayanginya. Wajah
mereka terus hadir di dalam benaknya, di sepanjang jalan itu. Ia jadi tak sabar
ingin bertemu keluarganya dirumah.
Annisa berhenti
di tepi jalan. Iqbal dan Baddar pasti akan senang. Dibelikannya martabak manis
untuk kedua adiknya. Ia menatap motor milik bapak yang diparkir dekat tenda
penjual martabak. Ah, bapak. Ia tersenyum bahagia. Ia berjanji dalam hati akan
membantu bapak, ibu, dan kedua adiknya. Iqbal dan Baddar harus terus
bersekolah.
Annisa melewati jalan
yang berbeda untuk menghindari kemacetan. Ia melewati rel kereta di daerah
Pasar Minggu. Wajah keluarga dan sahabatnya kembali berkecamuk di benaknya. Ada wajah Abduh dan
Dinar. Suasana digedung tadi kembali hadir. Bahkan bergabung dengan suara
kereta api. Tuuut tuuuuut. Suara itu
semakin dekat. Tapi, wajah mereka jauh lebih dekat. Annis seperti tak mendengar
suara kereta api yang berasal dari arah kanannya. Tuuuuuuut tuuuuuuuuuuuuuut tuuuuuuuuuuuut tuuuuutuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuut!!!!!!!!!!!!
Seketika, baju dan jilbab putih yang dikenakan Annisa berubah warna menjadi
merah.
Ibu menangis tak
henti-henti. Bapak, Iqbal, dan Baddar juga tak kuasa menahan tangis. Nadya
benar-benar datang keesokannya. Annisa pergi dengan begitu cantik dengan
jilbabnya. Ia pergi untuk kekasih yang sebenarnya. Ia pergi untuk bertemu
kekasih sejatinya.
keren. tapi aktornya kok namanya abduh.
ReplyDeletewah makasih ya
ReplyDeletesama sama
Delete