Saturday, September 7, 2013

Revolusi Biru, untuk Indonesia yang lebih Kompetitif di Asia Pasifik

Revolusi Biru,
 untuk Indonesia yang lebih Kompetitif di Asia Pasifik

            Revolusi biru, apakah makna dari sebuah revolusi biru? Lalu, apa bedanya revolusi biru dengan revolusi hijau? Mungkin, kita sudah lama mengenal revolusi hijau. Program revolusi hijau merupakan perubahan kondisi penyuluhan pertanian yang semula menekankan pada bimbingan kepada petani dalam berusahatani yang baik, menjadi tekanan pada alih teknologi, yaitu mengusahakan agar petani mampu meningkatkan produktivitasnya dan produksinya, serta menekankan pada tercapainya target produksi padi, baik target nasional, daerah maupun lokal (Tjitropranoto 2003).
Revolusi biru memiliki makna meningkatkan produktivitas perikanan. Revolusi biru merupakan sebuah gagasan dari Kementerian Perikanan dan Kelautan atau KKP. Perbedaan revolusi biru dan hijau terlihat jelas. Jika revolusi hijau menekankan pada pertanian, revolusi biru menekankan pada bidang perikanan. Seperti yang telah kita ketahui, satu per tiga bagian dari Indonesia terdiri atas perairan. Banyak hal yang dapat diperolah dari kekayaan perairan Indonesia, misalnya rumput laut, merupakan salah satu komoditas perairan laut. Indonesia, sebagai negara maritim, melalui ABAC dalam APEC CEO Summit, diharapkan bisa memulai program revolusi biru dengan komoditas rumput laut.  
Rumput laut dapat dimanfaatkan untuk berbagai hal yang dapat meningkatkan perekonomian Indonesia sehingga Indonesia lebih kompetitif  didalam Asia Pasifik. Di Indonesia, pemanfaatan rumput laut sudah mulai berkembang. Mulai dari pembudidayaan rumput laut hingga pengolahan rumput laut. Akan tetapi, Indonesia masih tetap mengimpor olahan hasil rumput laut tersebut dari negara lain. Rumput laut mengandung kadar iodium dan serat yang tinggi. Menurut Winarno (1990), kandungan iodium pada rumput laut yaitu 0,1 – 0,8% pada ganggang cokelat dan 0,1 – 0,15% pada ganggang merah. Kebiasaan mengonsumsi rumput laut dapat menuntaskan masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) di Indonesia, salah satunya dengan cara menggunakan rumput laut untuk membuat selai. Penggunaan rumput laut untuk selai dapat meningkatkan kadar iodium (Astawan et al 2004).
Selain pembuatan selai dari rumput laut, terdapat pula minuman fungsional dari rumput laut. Minuman fungsional dari rumput laut telah diteliti oleh Mappiratu dan Masyahoro (2009). Peningkatan mutu dari minuman fungsional tersebut hanya perlu ditingkatkan mutu dan fungsinya. Peningkatan mutu dilakukan melalui penggunaan aroma buah, sedangkan peningkatan fungsi dapat dilakukan melalui penggunaan pemberi warna (Mappiratu 2010).
Contoh olahan dari rumput laut yang lainnya ialah mie rumput laut. Saat ini, mie merupakan makanan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Riset mie rumput laut juga telah dilakukan oleh Wirjatmadi et al (2002). Hasil riset tersebut perlu ditingkatkan lagi fungsinya dalam pencegahan dan penanggulangan berbagai penyakit. Penambahan minyak ikan pada mie rumput laut dapat meningkatkan kecerdasan dan menurunkan kolesterol darah terutama kolesterol jahat (LDL). Hal ini disebabkan minyak ikan mengandung EFA dan DHA. Penambahan daging ikan gabus pada mie rumput laut dapat menurunkan kadar gula darah pada penderita diabetes karena kandungan protein albumin yang tinggi terdapat pada saging ikan gabus (Mappiratu 2010).
            Contoh-contoh pemanfaatan rumput laut tersebut tentunya dapat meningkatkan  perekonomian Indonesia. Globalisasi merupakan tantangan besar bagi Indonesia untuk memperkenalkan olahan rumput laut hasil negeri. Tantangan tersebut tidak hanya pada pengenalan di negara-negara Asia Pasifik, namun juga di negara Indonesia sendiri. Globalisasi tentunya juga dapat menjadi suatu wadah atau kesempatan bagi Indonesia untuk memperkenalkan olahan dari rumput laut. Suatu cara yang dapat dilakukan ialah menjadikan olahan-olahan tersebut dalam industri modern.
            Di zaman yang serba modern ini, masyarakat menuntut sesuatu yang instan, cenderung konsumtif. Hal ini memang tidak dapat dihindari. Namun, hal tersebut merupakan sebuah peluang untuk memperkenalkan olahan rumput laut. Industri rumput laut yang modern semestinya harus memasuki kota. Jika masyarakat Indonesia konsumtif bagi produknya sendiri tentu tak perlu dikhawatirkan.
            Pertanyaan besar untuk hal ini ialah: apakah bisa masyarakat Indonesia menggantungkan dirinya pada produk dalam negeri? Ya, tentu saja bisa. Melalui penjamuran suatu produk tersebut. Pemunculan trend dari penggunaan produk tersebut merupakan langkah yang tepat.       
            Konsumtif dan trend merupakan sebuah kombinasi dan kesempatan baik bagi Indonesia. Kombinasi tersebut akan menghasilkan sebuah “Seaweed Houses”, sebuah industri modern dari rumput laut. Selai, minuman fungsional, dan masih banyak lagi hasil olahan rumput laut dapat diperkenalkan disini. Pembangunan sebuah “Seaweed Houses” tentunya menjadi bagian impian dari revolusi biru. Konsepnya sederhana. “Seaweed Houses” merupakan pusat olahan hasil rumput laut. Banyak sekali hasil olahan rumput laut yang belum diketahui oleh masyarakat Indonesia itu sendiri. Kebanyakan hasil riset pun belum terealisasikan menjadi sebuah industri modern. “Seaweed Houses” juga dapat meningkatkan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia dengan berwirausaha dari hasil laut negeri kita sendiri. Kemudian, dari mana rumput laut tersebut diperoleh hingga dapat diperkenalkan di “Seaweed Houses”?
            Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, ujung tombak dari revolusi biru ialah perikanan budidaya. Budidaya rumput laut pun telah berkembang di negara kita. Di Sulawesi Tengah, kegiatan budidaya rumput laut dimulai pada tahun 1990 dalam skala kecil. Tahun 1997, di Kepulauan Samaringga berhasil membudidayakan rumput laut jenis Eucheuma cottonii (Fauziah, 2009; Hamja, 2009). Selain itu, berkembang pula budidaya rumput laut jenis Gracilaria sp., terutama di daerah Kabupaten Morowali. Produksi rumput laut Eucheuma cottonii dan Gracilaria sp. di Sulawesi Tengah pada tahun 2005 mencapai 244.133 ton basah. Produksi tersebut menjadikan Sulawesi Tengah menempati urutan ketiga penghasil rumput laut terbesar di Indonesia setelah Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur.
            “Seaweed Houses” merupakan cita-cita yang dapat terwujud. Tentunya, sangat diperlukan dukungan dari ABAC dan pemuda Indonesia, dalam APEC CEO Summit. Pemuda Indonesia sebagai promotor memiliki peran yang amat penting. Saat ini, saya sebagai mahasiswa Perikanan dan Kelautan, tentunya harus mendorong teman-teman pemuda lainnya untuk mencintai laut Indonesia, mencintai produk Indonesia. Selain mencintai kekayaan laut, memanfaatkan hasil laut, melakukan kegiatan perikanan budidaya, hal yang dapat dilakukan oleh pemuda untuk mewujudkan Indonesia yang lebih kompetitif di Asia Pasifik, yaitu dengan cara memupuk jiwa kewirausahaan sejak dini. Awal tahun 2013, saya bersama teman-teman lainnya mencoba membuat selai rumput laut yang didiversifikasi dalam makanan, yaitu bakpao. Ya, sebuah permulaan untuk “Seaweed Houses”, bagian dari revolusi biru. Tulisan ini juga merupakan bagian dari revolusi biru saya, untuk ABAC, untuk Indonesia yang lebih kompetitif di Asia Pasifik.

DAFTAR PUSTAKA
Astawan Made, Sutrisno Koswara, Fanie Herdiani. 2004. Pemanfaatan rumput laut (Eucheuma cottonii) untuk meningkatkan kadar iodium dan serat pangan pada selai dan dodol. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan XV (1): 61-69.
Fauziah N. 2009. Ekstraksi dan Karakterisasi Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii [Skripsi]. Palu: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNTAD.
Hamja.  2009.  Mutu Rumput Laut Eucheuma cottonii di Kabupaten Morowali dan Potensi Limbah Karaginan Sebagai Pakan Ternak [Tesis]. Palu: Sekolah Pascasarjana Universitas Tadulako.
Mappiratu dan Masyahoro. 2009. Kajian Budidaya dan Teknologi Pengolahan Rumput Laut di Perairan Teluk Palu.  Kerjasama BAPPEDA dan Penanaman Modal Kota Palu dengan Pusat Kajian Sumberdaya Posisir dan Lautan Tropis (PKSPL – TROPIS) Fakultas Pertanian UNTAD, Palu.
Mappiratu. 2010. Strategi riset rumput laut untuk produksi produk spesifik daerah Sulawesi Tengah. Media Litbang Sulteng 3 (2): 91-95 ISSN : 1979 – 5971.
Tjitropranoto. 2003. Penyuluhan Pertanian: Masa Kini dan Masa Depan dalam I Yustina dan A Sudradjat (eds). Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan: Didedikasikan kepada Prof. Dr. HR Margono Slamet. Bogor: IPB Press. 
Winarno. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: Sinar Pustaka Harapan.
Wirjatmadi B, M Adriani, S Purwantil. 2002. Pemanfaatan rumput laut (Eucheuma cottonii) dalam meningkatkan nilai kandungan serat dan yodium tepung terigu dalam pembuatan mi basah. Jurnal Penelitian Medika Eksakta 3 (1): 89 – 104.



Catatan: Tulisan ini diikutsertakan dalam ABAC Writing Competition 2013

No comments:

Post a Comment