Revolusi
Biru,
untuk Indonesia yang lebih Kompetitif di Asia
Pasifik
Revolusi biru,
apakah makna dari sebuah revolusi biru? Lalu, apa bedanya revolusi biru dengan
revolusi hijau? Mungkin, kita sudah lama mengenal revolusi hijau. Program
revolusi hijau merupakan perubahan kondisi penyuluhan pertanian yang semula
menekankan pada bimbingan kepada petani dalam berusahatani yang baik, menjadi
tekanan pada alih teknologi, yaitu mengusahakan agar petani mampu meningkatkan
produktivitasnya dan produksinya, serta menekankan pada tercapainya target
produksi padi, baik target nasional, daerah maupun lokal (Tjitropranoto 2003).
Revolusi biru memiliki
makna meningkatkan produktivitas perikanan. Revolusi biru merupakan sebuah
gagasan dari Kementerian Perikanan dan Kelautan atau KKP. Perbedaan revolusi
biru dan hijau terlihat jelas. Jika revolusi hijau menekankan pada pertanian,
revolusi biru menekankan pada bidang perikanan. Seperti yang telah kita
ketahui, satu per tiga bagian dari Indonesia terdiri atas perairan. Banyak hal
yang dapat diperolah dari kekayaan perairan Indonesia, misalnya rumput laut,
merupakan salah satu komoditas perairan laut. Indonesia, sebagai negara
maritim, melalui ABAC dalam APEC CEO Summit, diharapkan bisa memulai program
revolusi biru dengan komoditas rumput laut.
Rumput laut dapat
dimanfaatkan untuk berbagai hal yang dapat meningkatkan perekonomian Indonesia
sehingga Indonesia lebih kompetitif
didalam Asia Pasifik. Di Indonesia, pemanfaatan rumput laut sudah mulai
berkembang. Mulai dari pembudidayaan rumput laut hingga pengolahan rumput laut.
Akan tetapi, Indonesia masih tetap mengimpor olahan hasil rumput laut tersebut
dari negara lain. Rumput laut mengandung kadar iodium dan serat yang tinggi.
Menurut Winarno (1990), kandungan iodium pada rumput laut yaitu 0,1 – 0,8% pada
ganggang cokelat dan 0,1 – 0,15% pada ganggang merah. Kebiasaan mengonsumsi
rumput laut dapat menuntaskan masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI)
di Indonesia, salah satunya dengan cara menggunakan rumput laut untuk membuat
selai. Penggunaan rumput laut untuk selai dapat meningkatkan kadar iodium
(Astawan et al 2004).
Selain pembuatan selai
dari rumput laut, terdapat pula minuman fungsional dari rumput laut. Minuman
fungsional dari rumput laut telah diteliti oleh Mappiratu dan Masyahoro (2009).
Peningkatan mutu dari minuman fungsional tersebut hanya perlu ditingkatkan mutu
dan fungsinya. Peningkatan mutu dilakukan melalui penggunaan aroma buah,
sedangkan peningkatan fungsi dapat dilakukan melalui penggunaan pemberi warna
(Mappiratu 2010).
Contoh olahan dari
rumput laut yang lainnya ialah mie rumput laut. Saat ini, mie merupakan makanan
yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Riset mie rumput laut juga
telah dilakukan oleh Wirjatmadi et al (2002).
Hasil riset tersebut perlu ditingkatkan lagi fungsinya dalam pencegahan dan
penanggulangan berbagai penyakit. Penambahan minyak ikan pada mie rumput laut
dapat meningkatkan kecerdasan dan menurunkan kolesterol darah terutama
kolesterol jahat (LDL). Hal ini disebabkan minyak ikan mengandung EFA dan DHA.
Penambahan daging ikan gabus pada mie rumput laut dapat menurunkan kadar gula
darah pada penderita diabetes karena kandungan protein albumin yang tinggi
terdapat pada saging ikan gabus (Mappiratu 2010).
Contoh-contoh
pemanfaatan rumput laut tersebut tentunya dapat meningkatkan perekonomian Indonesia. Globalisasi merupakan
tantangan besar bagi Indonesia untuk memperkenalkan olahan rumput laut hasil
negeri. Tantangan tersebut tidak hanya pada pengenalan di negara-negara Asia
Pasifik, namun juga di negara Indonesia sendiri. Globalisasi tentunya juga
dapat menjadi suatu wadah atau kesempatan bagi Indonesia untuk memperkenalkan olahan
dari rumput laut. Suatu cara yang dapat dilakukan ialah menjadikan
olahan-olahan tersebut dalam industri modern.
Di
zaman yang serba modern ini, masyarakat menuntut sesuatu yang instan, cenderung
konsumtif. Hal ini memang tidak dapat dihindari. Namun, hal tersebut merupakan
sebuah peluang untuk memperkenalkan olahan rumput laut. Industri rumput laut
yang modern semestinya harus memasuki kota. Jika masyarakat Indonesia konsumtif
bagi produknya sendiri tentu tak perlu dikhawatirkan.
Pertanyaan
besar untuk hal ini ialah: apakah bisa masyarakat Indonesia menggantungkan
dirinya pada produk dalam negeri? Ya, tentu saja bisa. Melalui penjamuran suatu
produk tersebut. Pemunculan trend
dari penggunaan produk tersebut merupakan langkah yang tepat.
Konsumtif
dan trend merupakan sebuah kombinasi
dan kesempatan baik bagi Indonesia. Kombinasi tersebut akan menghasilkan sebuah
“Seaweed Houses”, sebuah industri modern dari rumput laut. Selai, minuman fungsional,
dan masih banyak lagi hasil olahan rumput laut dapat diperkenalkan disini. Pembangunan
sebuah “Seaweed Houses” tentunya menjadi bagian impian dari revolusi biru.
Konsepnya sederhana. “Seaweed Houses” merupakan pusat olahan hasil rumput laut.
Banyak sekali hasil olahan rumput laut yang belum diketahui oleh masyarakat
Indonesia itu sendiri. Kebanyakan hasil riset pun belum terealisasikan menjadi
sebuah industri modern. “Seaweed Houses” juga dapat meningkatkan lapangan
pekerjaan bagi masyarakat Indonesia dengan berwirausaha dari hasil laut negeri
kita sendiri. Kemudian, dari mana rumput laut tersebut diperoleh hingga dapat
diperkenalkan di “Seaweed Houses”?
Menurut
Kementerian Kelautan dan Perikanan, ujung tombak dari revolusi biru ialah
perikanan budidaya. Budidaya rumput laut pun telah berkembang di negara kita. Di
Sulawesi Tengah, kegiatan budidaya rumput laut dimulai pada tahun 1990 dalam
skala kecil. Tahun 1997, di Kepulauan Samaringga berhasil membudidayakan rumput
laut jenis Eucheuma cottonii (Fauziah,
2009; Hamja, 2009). Selain itu, berkembang pula budidaya rumput laut jenis Gracilaria sp., terutama di daerah
Kabupaten Morowali. Produksi rumput laut Eucheuma
cottonii dan Gracilaria sp. di
Sulawesi Tengah pada tahun 2005 mencapai 244.133 ton basah. Produksi tersebut
menjadikan Sulawesi Tengah menempati urutan ketiga penghasil rumput laut
terbesar di Indonesia setelah Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur.
“Seaweed
Houses” merupakan cita-cita yang dapat terwujud. Tentunya, sangat diperlukan
dukungan dari ABAC dan pemuda Indonesia, dalam APEC CEO Summit. Pemuda
Indonesia sebagai promotor memiliki peran yang amat penting. Saat ini, saya
sebagai mahasiswa Perikanan dan Kelautan, tentunya harus mendorong teman-teman
pemuda lainnya untuk mencintai laut Indonesia, mencintai produk Indonesia. Selain
mencintai kekayaan laut, memanfaatkan hasil laut, melakukan kegiatan perikanan
budidaya, hal yang dapat dilakukan oleh pemuda untuk mewujudkan Indonesia yang
lebih kompetitif di Asia Pasifik, yaitu dengan cara memupuk jiwa kewirausahaan
sejak dini. Awal tahun 2013, saya bersama teman-teman lainnya mencoba membuat
selai rumput laut yang didiversifikasi dalam makanan, yaitu bakpao. Ya, sebuah
permulaan untuk “Seaweed Houses”, bagian dari revolusi biru. Tulisan ini juga
merupakan bagian dari revolusi biru saya, untuk ABAC, untuk Indonesia yang
lebih kompetitif di Asia Pasifik.
DAFTAR
PUSTAKA
Astawan
Made, Sutrisno Koswara, Fanie Herdiani. 2004. Pemanfaatan rumput laut (Eucheuma cottonii) untuk meningkatkan
kadar iodium dan serat pangan pada selai dan dodol. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan XV (1): 61-69.
Fauziah
N. 2009. Ekstraksi dan Karakterisasi Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii [Skripsi]. Palu: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNTAD.
Hamja. 2009.
Mutu Rumput Laut Eucheuma cottonii
di Kabupaten Morowali dan Potensi Limbah Karaginan Sebagai Pakan Ternak [Tesis].
Palu: Sekolah Pascasarjana Universitas Tadulako.
Mappiratu
dan Masyahoro. 2009. Kajian Budidaya dan Teknologi Pengolahan Rumput Laut di
Perairan Teluk Palu. Kerjasama BAPPEDA
dan Penanaman Modal Kota Palu dengan Pusat Kajian Sumberdaya Posisir dan Lautan
Tropis (PKSPL – TROPIS) Fakultas Pertanian UNTAD, Palu.
Mappiratu.
2010. Strategi riset rumput laut untuk produksi produk spesifik daerah Sulawesi
Tengah. Media Litbang Sulteng 3 (2):
91-95 ISSN : 1979 – 5971.
Tjitropranoto.
2003. Penyuluhan Pertanian: Masa Kini dan Masa Depan dalam I Yustina dan A
Sudradjat (eds). Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan: Didedikasikan
kepada Prof. Dr. HR Margono Slamet. Bogor: IPB Press.
Winarno.
1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut.
Jakarta: Sinar Pustaka Harapan.
Wirjatmadi
B, M Adriani, S Purwantil. 2002. Pemanfaatan rumput laut (Eucheuma cottonii) dalam meningkatkan nilai kandungan serat dan
yodium tepung terigu dalam pembuatan mi basah. Jurnal Penelitian Medika Eksakta 3 (1): 89 – 104.
Catatan:
Tulisan ini diikutsertakan dalam ABAC Writing Competition 2013
No comments:
Post a Comment