Monday, July 16, 2012

Sukma bersabda;

Namanya Sukma. Aku biasanya memanggilnya mbak Sukma. Umurnya lebih tua dua tahun dari ku. Badannya tinggi kurus, kulitnya sawo matang, sekilas siapa saja bisa menebak benar kalau ia adalah orang Jawa. Sukma mandiri dan memiliki pendirian. Beberapa tahun silam, kami kadang berbagi kisah.
"Jadi perempuan tidak boleh lemah",sabdanya. Ia berbicara dengan muka yang tegas. Aku melihat rautnya yang ayu.
Kami berjalan menyusuri gang kecil di bilangan Jakarta Selatan. Satu tahun lebih yang lalu, waktu ashar hampir habis tapi kami belum menemukan mushola.
"Iya mbak", aku mengangguk sambil tersenyum padanya.
Ia kembali tersenyum pada ku dan anak-anak kecil yang sedang bermain disekitar gang.
"Jadi perempuan juga nggak boleh ketergantungan sama laki-laki ran", katanya lagi sambil tengok kanan kiri, barangkali mushola yang kita cari sudah lewat.
Aku tersenyum tipis mendengar perkataannya, merasa tersindir. 
"Ran, ini mana ya musholanya? Coba kamu tanya bapak-bapak itu deh".
"Mbak Sukma aja deh yang tanya, Rana malu", kata ku sambil nyengir.
"Malu bertanya sesat di jalan, gimana sih Ran tanya gitu aja malu".
Kami melanjutkan perjalanan setelah mendapat arahan dari bapak tersebut. Mbak Sukma yang bertanya. Saat itu, aku masih seperti anak kecil di hadapannya.
"Nah, ketemu juga akhirnya", aku melihat senyum manisnya di balik kerudung hitam itu.
Setelah sepuluh menit, kami bergegas kembali ke sebuah rumah rekaman.

                                                                            ***

"Could it be love, could it be love, could it be, could it be....." Sukma berdendang diiringi gitar akustik yang dimainkan oleh seorang drummer dari grup bandnya.
Ia menyanyikan beberapa buah lagu. Asap rokok mengepul di sekitar kami. Bukan kami yang merokok, tapi personel grup bandnya. Aku menahan napas. Sedikit tidak ikhlas paru-paru ku di aliri gas beracun tersebut. Aku hanya diam diantara mereka. Ya, memang selalu begitu.
"Ran maaaf ya lama, kamu nggak apa-apa kan?", tanya Sena sambil meraih tangan ku. 
Sena adalah kekasih ku yang merupakan salah satu personel dalam grup tersebut.
"Nggak apa-apa kok", jawab ku.
Hari ini, aku mati-matian menemaninya karena kita akan jarang ketemu. Aku harus pergi ke luar kota minggu ini.
Sena mengambil gitar dan Sukma kembali bernyanyi. Ada keserasian diantara mereka. Entah kenapa aku melihat itu. Aku melihat perbedaan itu. Aku menarik napas panjang dan menunduk berlagak sibuk dengan telepon genggam ku. Jangan sampai, untuk kesekian kalinya aku bertanya pada Sena tentang kecurigaanku.
"Jadi, kapan kamu ke Semarang?", tanya Sukma membuka obrolan. 
"Tiga hari lagi mbak, aku titip Sena ya", kata ku sambil memamerkan gigi-gigi ku.
Ia tertawa kecil kemudian menjawab, "Siap, tenang aja Ran".
Sena dan personel lainnya sedang di dalam dapur rekaman. Di sela-sela latihan pun, ketika aku datang, aku selalu ditemani Sukma. Ia bercerita tentang kesibukannya, tentang dunia perkuliahan. Perlahan, kecurigaan ku pada Sukma luntur.

No comments:

Post a Comment