Monday, February 11, 2013

Kekasih Sejati


Aku memegang kartu undangan seraya mondar-mandir di dalam kamar. Badan ku terasa lemas. Aku mencoba menahan tangis dengan menggiggit bibir bawah ku. Namun usaha ku percuma. Air mata ku mengalir begitu deras. Aku duduk lemas di pojok kamar. Fikiran ku kacau. Antara harus datang ke acara tersebut atau tetap diam di rumah sambil mengirimkan doa. Aku manatap baju yang akan ku pakai. Baju hasil jahitan ibu. Aku memejamkan mata, mencoba mengikuti intuisi ku.
“Annisa”, panggil ibu diikuti suara ketukan pintu. Aku diam tak menjawab. Aku mencoba mengatur nafas ku agar ibu tak mengetahui aku sedang menangis.
“Annisa? Kamu sudah rapi belum?”, ibu kembali memanggil dan mengetuk kamar.
“Ya bu. Aku belum rapi”, jawab ku singkat.
“Yasudah, ibu tunggu ya, nis”, aku mendengar suara ibu menjauhi pintu kamar.
Aku menarik nafas panjang. Aku segera beranjak bangun dan bercuci muka. Ku kenakan baju pemberian ibu. Aku hiasi jilbab dengan warna sepadan. Jilbab pertama ku. Aku merasa cantik dengan baju dan jilbab ku. Baju sederhana yang diberikan ibu. Jahitan payet membuat baju putih ini semakin indah. Celana bahan berwarna hitam ku pilih untuk dipadankan dengan baju pemberian ibu. Aku meraih undangan diatas kasur kapuk ku. Ku susul ibu dan bapak yang sudah menunggu. Ku lihat bapak di luar sedang memanaskan kendaraan roda duanya. Tidak terlihat kesedihan yang ada padanya. Bapak tetap bersyukur dengan apa yang dimilikinya.
“Sudah rapi nis?”, bapak seperti tahu aku berdiri mengamatinya dari pintu rumah.
“Sudah pak”, balasku.
Bapak melihat ke arah ku. Ia tersenyum lebar. “Subhanallah, anak bapak cantik sekali”, bapak berjalan menghampiri ku.
“Aku baru saja mencoba pak, belum terlambat, bukan?”, kata ku sambil merapikan jilbab ku.
“Belum ada yang terlambat, nis”, bapak tersenyum senang. “Kamu pakai motor bapak ya nis”.
“Loh pak, jangan. Aku kuliah juga biasanya pakai motor bebek. Motor bapak kan masih baru. Motor automatic kesayangan bapak itu, bapak saja yang pakai bersama ibu”, aku menolak kunci motor yang diberikan bapak.
“Mulai hari ini, kamu pakai motor bapak, nis. Ke kampus juga pakai motor bapak ya. Jadi nggak terlalu capek”, bapak berkata penuh semangat.
Aku diam mendengar tawaran bapak. Selama ini, aku mencoba menyembunyikan keletihan ku. Bapak jauh lebih letih. Tapi bapak tidak ingin membagi keletihannya pada ku.
“Nis, kita memang berasal dari keluarga sederhana. Kita jauh dari kesempurnaan. Namun, jika kita sudah memiliki semua, apalagi yang akan kita cari”, bapak menasehatiku. Beliau tahu apa yang sedang aku rasakan. “Jangan hiraukan mereka yang hanya melihat segalanya melalui harta. Kamu, ibu, dan adik-adik mu jauh lebih berharga dari harta apa pun”.
Aku mendengar dengan baik nasehat dari bapak. Bapak benar. Hubungan ku dengan Abduh berakhir karena orangtua Abduh tak merestui hubungan kami. Dimata orang tua Abduh, aku tidak pantas menjadi pasangan hidup untuk Abduh. Apalagi, saat orang tuanya mengetahui keadaan keluarga ku.
“Sudah Nis, tak usah difikirkan. Jodoh itu ditangan Tuhan”, bapak mengelus kepala ku.
“Iya pak. Annisa mengerti”, aku memberikan bapak senyuman. Senyuman yang paling indah disore ini.
Praaaaaaaaaaaaaaang. Suara dari dalam rumah menganggetkan aku dan bapak. Aku berlari ke dalam rumah dan mencari sumber suara. Dapur. Aku berjalan cepat ke arah dapur.
“Ibuuuu, ibu baik-baik saja?” aku berjongkok dan membereskan pecahan kaca dari gelas.
“Ibu nggak kenapa-kenapa nis”, jawab ibu. Alisnya mengkerut seperti sedang memikirkan sesuatu.
Iqbal, adikku yang masih duduk dibangku SMA membantu ku membersihkan pecahan kaca. Aku suruh ibu duduk saja diruang tamu bersama bapak. “Berikan ini untuk ibu, bal”, kataku menyodorkan segelas air hangat.
“Perasaan ku nggak enak, pak”, ibu memegang lehernya dan terlihat panik.
“Istighfar, bu. Insyaallah, semuanya baik-baik saja”, bapak mencoba menenangkan.
Aku menghampiri ibu dan bapak setelah serpihan kaca sudah dibereskan.
“Ibu dirumah saja”, kata ku seraya memberikan minyak angin kepadanya.
“Ibu ikut, Nis”, kata ibu tegas. “Iqbal, kamu jaga rumah ya, nak. Jaga adik mu, Baddar. Jangan lupa belajar dan kerjakan pekerjaan rumah”.
“Iya bu”, Iqbal menjawab setengah berteriak. Ia sedang dikamar bersama Baddar. Baddar masih duduk dibangku SMP. Iqbal sedang rutin mengajari adiknya yang sebentar lagi akan menghadapi Ujian Nasional.
Aku pergi bersama ibu dan bapak. Bapak memboncengi ibu. Aku sendiri menggunakan sepeda motor bapak. Langit sudah gelap. Jalanan di Jakarta Selatan cukup ramai. Ya, maklum saja ini malam Minggu. Satu bulan lalu, malam seperti ini, Abduh datang ke rumah. Berbicara banyak hal bersama ayah dan ibu, memberikan banyak sesuatu untuk keluargaku. Bahkan, ia bermain dengan kedua adikku. Tapi tidak untuk malam ini.


Aku meraih undangan yang ada di tas ku. Ku lihat sekali lagi nama yang tertera di halaman paling depan. ‘Abduh & Dinar’. Aku pasti kuat. Aku menggenggam erat undangan tersebut. Ini bukan mimpi.
“Ikhlas, Nis”, ibu menghampiri ku. Kami masih berdiri di halaman parkir. Gedung yang disewa sudah ramai. Tamu undangan mulai berdatangan. Aku menjawab perkataan ibu dengan sebuah anggukan dan senyuman. Ibu dan bapak yang membuat ku kuat. Begitu juga kedua adik ku dan kerabat ku. Aku berjanji akan membahagiakan keluarga ku. Aku masih menyelesaikan skripsi. Aku akan cepat menyelesaikannya supaya tahun depan, aku tak perlu membayar uang kuliah. Uang hasil kerja sampingan ku bisa ku tabung untuk adik-adikku.
“Wah, Mbak Annisa, cantik sekali dengan jilbab mu”, kata saudara perempuan Abduh saat aku bertemu dengannya di meja tamu.
“Terimakasih dek, aku masih belajar mengenakannya”, jawabku.
Suasana di dalam gedung begitu ramai. Aku bertemu beberapa temannya Abduh yang ku kenali. Aku juga bertemu dengan sanak saudaranya. Ku berjalan menuju pelaminan bersama orang tua ku. Orang tua dari Abduh menyambut ramah keluarga kami. Entahlah, aku hanya tersenyum miris. Aku menjabat tangan Abduh dan memberikan selamat kepadanya. Tak lupa, aku menjabat tangan Dinar dan mengecup kedua pipinya. Aku berdoa dalam hati. Aku berdoa untuk Abduh dan Dinar. Aku bahagia melihat mereka bahagia. Sungguh. Aku merelakan mantan kekasih ku bersama perempuan lain. Aku ikhlas melihatnya. Aku yakin, Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan umatnya. Aku yakin, ada hikmah yang dapat diambil dari semua ini.
Dunia terasa berhenti saat malam ini. Makanan yang disajikan terasa hambar dilidah. Ku tengok sekeliling gedung mencari sahabatku. Ah, mungkin ia belum datang. Aku tak ingin berlama-lama disini. Aku mengajak ibu dan bapak untuk pulang.
“Annisaa!”, perempuan bertubuh mungil yang sejak tadi kucari, memanggil ku dari kejauhan.
Aku menoleh dan menghampirinya. Ku peluk erat tubuh mungilnya. “Nad”, aku memanggilnya lirih. Kami bertemu di luar gedung. Saat aku dan kedua orang tua ku akan pulang. Aku melepas pelukan Nadya dan menoleh ke arah ibu dan bapak. Ibu mengangguk ke arah ku memberikan isyarat akan pulang terlebih dahulu. Aku menghampiri ibu dan bapak. Ku kecup telapak tangan mereka.
“Hati-hati ya bu, pak”, kata ku.
“Kamu juga hati-hati Annisa”, ibu mengelus kepala ku. “Ibu duluan ya, Nadya”, sambungnya.
“Oh iya bu, pak, hati-hati dijalan ya”, jawab Nadya.
“Nis..kamu semakin cantik”, Nadya terlihat terkejut melihat ku dengan jilbab ku malam ini.
Aku hanya terseyum tipis. Aku tak bisa menyembunyikan kesedihan ku.
“Kamu terlalu baik untuk Abduh. Kamu pantas mendapatkan yang lebih darinya”, Nadya kembali memeluk ku.
“Terimakasih Nad”, hanya itu yang keluar dari mulut ku. Nadya, sahabat ku sejak  duduk dibangku SMA mencoba menenangkan ku. “Maafkan Dinar, Nis”, sambungnya. Ia seperti merasa bersalah. Dinar adalah teman kuliahnya. Mereka sama-sama belajar di perguruan tinggi yang sama, di fakultas yang sama, dan di jurusan yang sama.
“Ini semua bukan salah Dinar, dan nggak ada yang perlu disalahkan, Nad. Ini semua sudah suratan dari Tuhan”, jawabku.
“Kamu yang sabar ya, nis. Kamu hanya perlu waktu untuk menerima semua ini”.
“Aku sudah merelakan Abduh sejak kuputuskan untuk datang kesini”, tangis ku pecah dipelukan Nadya. Aku sendiri bertanya-tanya dalam hati. Air mata kebahagiaan atau kesedihan kah? Setiap kali aku berusaha meyakinkan diri ku juga ikut bahagia, air mata ini semakin tak tertahankan.
“Abduh akan menyesal telah memilih perempuan lain. Atau lebih tepatnya, ibunya yang akan menyesal?”, Nadya sedikit bercanda.
Aku tertawa mendengar kalimat terakhirnya. Ku pamerkan deretan gigi-gigi ku.
“Bareng yuk, Nis. Aku bawa mobil”, ajaknya.
“Nggak usah, aku bawa motor, Nad”, aku menunjukkan kunci motor ku.
“Baiklah, kalau begitu, besok aku kerumah mu Nis. Kangen sam Iqbal dan Baddar yang ganteng-ganteng hehehhehe”, tawanya.
Aku membalasnya dengan tawa. Kami berpisah di halaman parkir setelah berpelukan kembali. Aku merasa sangat tenang setelah bertemu dengan sahabat ku yang satu itu. Abduh, selamat menempuh hidup baru bersama Dinar. Kata ku dalam hati.


Annisa mengendarai sepeda motor milik Bapak. Dikendarainya dengan hati-hati. Itu adalah sepeda motor kesayangan bapak. Semakin malam, jalanan semakin ramai dengan kendaraan roda empat dan roda dua. Ia bersyukur masih bisa menikmati indahnya malam. Ia bersyukur masih memiliki keluarga dan kerabat yang sangat menyayanginya. Wajah mereka terus hadir di dalam benaknya, di sepanjang jalan itu. Ia jadi tak sabar ingin bertemu keluarganya dirumah.
Annisa berhenti di tepi jalan. Iqbal dan Baddar pasti akan senang. Dibelikannya martabak manis untuk kedua adiknya. Ia menatap motor milik bapak yang diparkir dekat tenda penjual martabak. Ah, bapak. Ia tersenyum bahagia. Ia berjanji dalam hati akan membantu bapak, ibu, dan kedua adiknya. Iqbal dan Baddar harus terus bersekolah.
Annisa melewati jalan yang berbeda untuk menghindari kemacetan. Ia melewati rel kereta di daerah Pasar Minggu. Wajah keluarga dan sahabatnya kembali  berkecamuk di benaknya. Ada wajah Abduh dan Dinar. Suasana digedung tadi kembali hadir. Bahkan bergabung dengan suara kereta api. Tuuut tuuuuut. Suara itu semakin dekat. Tapi, wajah mereka jauh lebih dekat. Annis seperti tak mendengar suara kereta api yang berasal dari arah kanannya. Tuuuuuuut tuuuuuuuuuuuuuut tuuuuuuuuuuuut tuuuuutuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuut!!!!!!!!!!!! Seketika, baju dan jilbab putih yang dikenakan Annisa berubah warna menjadi merah.


Ibu menangis tak henti-henti. Bapak, Iqbal, dan Baddar juga tak kuasa menahan tangis. Nadya benar-benar datang keesokannya. Annisa pergi dengan begitu cantik dengan jilbabnya. Ia pergi untuk kekasih yang sebenarnya. Ia pergi untuk bertemu kekasih sejatinya.

3 comments: