“Ran, udah malem loh ini, kamu nggak di cariin orang tua
mu?”, pertanyaannya membuyarkan lamunan ku.
“Engga mbak, tadi aku udah izin kok. Lagipula, kapan lagi
aku ketemu Sena”, aku manik nafas panjang membayangkan satu minggu ke depan,
dua minggu ke depan, tiga minggu ke depan, ah sudahlah.
“Iya ya, pasti nanti jarang pulang, hati-hati ya Ran
disana”, Sukma tersenyum dan aku merasa ia benar-benar seperti sosok mbak ku.
Aku menggangguk pasti dan membalas senyumannya.
“Sukma, nyanyi lagi yuk, masih lama banget nih”, drummer
dari band mereka, datang membawa gitar dan menghampiri Sukma.
Sukma berdendang, menghayati lagu yang ia nyanyikan, ia
sempat mengajak ku bernyanyi bersama. Tapi, aku menolaknya. Aku tidak
berbakat dalam hal menyanyi. Sena tau itu. Sekitar jam 10 malam kami
meninggalkan rumah rekaman. Sebelum pulang, aku berbincang dan melepas rindu
dengan Sena. Aku mampir ke rumah Sena dan berpamitan dengan ibunya. Sena tidak
mengantar ku. Aku pulang bersama mbak Sukma, dengan sepeda motornya. Rumah kami
searah.
“Sukma, titip Rana ya”, Sena tersenyum kepada Sukma sambil
mengusap kepala ku.
Malam itu, di halaman depan rumah Sena, Sukma seperti tempat
penitipan bagi aku dan Sena. Sukma seperti dipercaya oleh kami berdua. Mungkin,
karena ia satu-satunya perempuan yang ada di grup band ini. Satu-satunya
perempuan selain aku.
“Pasti aku jagain Sen”, Sukma bersabda.
***
Selamat datang Semarang. Ucapku dalam hati saat sampai di
Semarang. Aku sudah jauh melangkah. Aku melihat langit Semarang. Masih sama
seperti langit Jakarta. Sena, apa kabar dengannya? Kami bertemu terakhir
kemarin sore. Ia mengantar ku membeli keperluan untuk di Semarang.
“Ayo Rana, kopernya di bawa, jangan bengong terus”, ibu
tertawa kecil melihat muka ku yang bingung.
Aku membuka pintu kamar, debu-debu menyambut kedatangan
penghuni baru.
Ibu membantu aku membersihkan kamar, menyusun barang-barang
bawaan ku.
Aku pasti akan merindukan ibu.
“Nanti seminggu sekali bisa main ke rumah Tante Dian. Tante
Dian sudah seperti adik ibu loh, Ran. Tante Dian juga pandai memasak, kamu
belajar lah sama dia”.
Ibu menceritakan sosok sahabatnya. Ibu dan Tante Dian
bersahabat sejak di bangku SMA.
“Ya kalau nggak sempet seminggu sekali, dua minggu sekali
juga boleh”, sambung ibu.
Aku mengangguk dan mengingat wajah Tante Dian. Ia
mengingatkan ku pada mbak Sukma
“Sudah selesai beres-beresnya bu? Ibu sama anak kok sama
aja, sama-sama suka gossip”, ayah datang sambil membawa minuman untuk kami.
“Ini bukan gossip yah. Ibu tuh lagi cerita tentang Tante Dian
ke Rana”, ibu menggerutu seperti anak kecil.
Aku tertawa melihat pahlawan perempuan dan laki-laki yang
ada dihadapan ku.
Ibu membetulkan jilbabnya dan mengajak ku keluar kamar.
“Sebentar bu, ini yang terakhir”, aku meletakkan foto ku
bersama Sena di meja belajar. Itu adalah foto yang paling kau sukai. Foto box
bersama kekasih menjadi hal yang wajar dilakukan pada waktu SMA. Ya, memang norak. Sangat norak.
No comments:
Post a Comment