Friday, October 26, 2012

Sukma bersabda; (II)


“Ran, udah malem loh ini, kamu nggak di cariin orang tua mu?”, pertanyaannya membuyarkan lamunan ku.
“Engga mbak, tadi aku udah izin kok. Lagipula, kapan lagi aku ketemu Sena”, aku manik nafas panjang membayangkan satu minggu ke depan, dua minggu ke depan, tiga minggu ke depan, ah sudahlah.
“Iya ya, pasti nanti jarang pulang, hati-hati ya Ran disana”, Sukma tersenyum dan aku merasa ia benar-benar seperti sosok mbak ku.
Aku menggangguk pasti dan membalas senyumannya.
“Sukma, nyanyi lagi yuk, masih lama banget nih”, drummer dari band mereka, datang membawa gitar dan menghampiri Sukma.
Sukma berdendang, menghayati lagu yang ia nyanyikan, ia sempat mengajak ku bernyanyi bersama. Tapi, aku menolaknya. Aku tidak berbakat dalam hal menyanyi. Sena tau itu. Sekitar jam 10 malam kami meninggalkan rumah rekaman. Sebelum pulang, aku berbincang dan melepas rindu dengan Sena. Aku mampir ke rumah Sena dan berpamitan dengan ibunya. Sena tidak mengantar ku. Aku pulang bersama mbak Sukma, dengan sepeda motornya. Rumah kami searah.
“Sukma, titip Rana ya”, Sena tersenyum kepada Sukma sambil mengusap kepala ku.
Malam itu, di halaman depan rumah Sena, Sukma seperti tempat penitipan bagi aku dan Sena. Sukma seperti dipercaya oleh kami berdua. Mungkin, karena ia satu-satunya perempuan yang ada di grup band ini. Satu-satunya perempuan selain aku.
“Pasti aku jagain Sen”, Sukma bersabda.

***

Selamat datang Semarang. Ucapku dalam hati saat sampai di Semarang. Aku sudah jauh melangkah. Aku melihat langit Semarang. Masih sama seperti langit Jakarta. Sena, apa kabar dengannya? Kami bertemu terakhir kemarin sore. Ia mengantar ku membeli keperluan untuk di Semarang.
“Ayo Rana, kopernya di bawa, jangan bengong terus”, ibu tertawa kecil melihat muka ku yang bingung.
Aku membuka pintu kamar, debu-debu menyambut kedatangan penghuni baru.
Ibu membantu aku membersihkan kamar, menyusun barang-barang bawaan ku.
Aku pasti akan merindukan ibu.
“Nanti seminggu sekali bisa main ke rumah Tante Dian. Tante Dian sudah seperti adik ibu loh, Ran. Tante Dian juga pandai memasak, kamu belajar lah sama dia”.
Ibu menceritakan sosok sahabatnya. Ibu dan Tante Dian bersahabat sejak di bangku SMA.
“Ya kalau nggak sempet seminggu sekali, dua minggu sekali juga boleh”, sambung ibu.
Aku mengangguk dan mengingat wajah Tante Dian. Ia mengingatkan ku pada mbak Sukma
“Sudah selesai beres-beresnya bu? Ibu sama anak kok sama aja, sama-sama suka gossip”, ayah datang sambil membawa minuman untuk kami.
“Ini bukan gossip yah. Ibu tuh lagi cerita tentang Tante Dian ke Rana”, ibu menggerutu seperti anak kecil.
Aku tertawa melihat pahlawan perempuan dan laki-laki yang ada dihadapan ku.
Ibu membetulkan jilbabnya dan mengajak ku keluar kamar.
“Sebentar bu, ini yang terakhir”, aku meletakkan foto ku bersama Sena di meja belajar. Itu adalah foto yang paling kau sukai. Foto box bersama kekasih menjadi hal yang wajar dilakukan pada waktu SMA.  Ya, memang norak. Sangat norak.

No comments:

Post a Comment