Saturday, April 20, 2013

Pilih Pasar Kaget atau Belajar?

 Mungkin masih ingat mengenai postingan saya tentang Sanggar Juara. Pagi tadi, saya baru saya turun lapang ke Desa Situ Leutik di derah Dramaga. Kami datang terlambat, lebih cepat dari keberadaan pasar kaget di daerah Bara.

Bara adalah sebuah nama daerah yang terletak disekitar kampus. Disetiap hari Minggu, selalu ada pasar kaget di Bara. Sekitar pukul 6 mungkin sudah ramai sekali. Adanya pasar kaget ini menjadi ladang usaha bagi masyarakat sekitar dan kadang juga mahasiswa. Mahasiswa yang sedang membutuhkan dana kerap menjajakan dagangannya di pasar kaget tersebut (misal: baju bekas), atau kadang menawarkan dagangan untuk para pengunjung yang senam (re: makanan dan minuman). Menurut saya, hal tersebut merupakan hal positif yang tidak ada salahnya jika dilakukan. Uang di pasar kaget ini mungkin akan terus berputar disitu-situ saja. Subjeknya adalah mahasiswa, pedagang, dan pengunjung. Berbicara soal pengunjung, anak-anak di Desa Situ Leutik adalah anak-anak yang ingin menjadi bagian dari pengunjung tersebut. Saya tidak merasa keberatan. Tapi, jujur, saya merasa sedih ketika saya datang ke sekolah Situ Leutik, dan anak-anaknya tidak ada karena mereka semua ke pasar kaget.

Ya, saya kaget karena pasar kaget. Betapa sedikitnya hasrat mereka untuk belajar, betapa sedikitnya hasrat para ibu untuk mengajak anaknya belajar. Miris. Terlebih desa Situ Leutik terletak di daerah kampus. Saya pun miris, saat perjalanan menuju Sekolah Situ Leutik, saya lihat ebberapa remaja, yang berpakaian tidak senonoh. Mereka adalah bagian dari penerus bangsa. Anak-anak bisa saja mencontoh para remaja yang berada didekat lingkungannya.

Kembali lagi mengenai pasar kaget. Entah apa yang anak-anak cari disana. Saya sedih sekali, bahkan saat kami datang pun, mereka justru kabur. Mungkin ini juga merupakan teguran bagi para mahasiswa, atau penerus bangsa, di zaman yang seperti ini, kita harus sekreatif mungkin untuk mengajarkan anak-anak agar mereka tidak bosan. Kita harus dapat bersaing dengan faktor-faktor yang dapat menurunkan niat belajar anak-anak. Dan, bukan salah pasar kaget, bukan salah anak-anak. Bisa jadi budaya. Ya, pendidikan karakter yang mungkin adapat mengubahnya. Ketika kita mengetahui lingkungan mereka, bagaimana mereka dididik oleh orang tuanya, sudah saatnya kita membantu anak-anak agar memiliki karakter yang baik sehingga budaya apa pun itu yang sedang berjamur tak menjadi budaya yang harus diikuti.

Selamat mengajar untuk kamu yang ingin mengajar,

Salam.

Friday, April 19, 2013

Intuisi dan Sanggar Juara


“Kak Syifaaaa!!!”, anak kecil itu berteriak menghampiri perempuan yang berjalan ke arahnya.
Ku lihat, perempuan itu menanggapinya dengan pelukan hangat. Aku memperhatikan keduanya. Anak-anak yang lain ikut menghampiri perempuan itu. Mereka berteriak kegirangan. Perempuan itu seperti membawa mainan bagi mereka.
“Yuk masuk kelas!”
Perempuan itu mengajak anak-anak masuk ke dalam kelas. Sekolah hari ini libur. Ya, ini hari Sabtu. Tapi, hari ini tetap ramai dengan anak-anak kecil yang sepertinya menanti perempuan itu disetiap pekan. Sekolah ini berada di salah satu Desa di Kabupaten Bogor. akses untuk ke sekolah ini tidak terlalu sulit. Aku melihat sekeliling sekolah. Hanya ada beberapa pintu kelas saja, sekitar delapan atau sepuluh kelas. Perempuan itu masuk ke dalam kelas diikuti yang lainnya.
“Gia, lihat ke arah sini!”
Perempuan itu memanggil salah satu dari mereka dan mengarahkan lensa kamera ke arahnya.
Aku memperhatikan perempuan yang sudah akrab dengan mereka, ku dengar tadi namanya Syifa.
Aku tersenyum melihatnya. Perempuan itu mengingatkan ku pada satu sosok.
Aku memperhatikan hiruk pikuk di dalam kelas. Mereka asyik berbicara satu sama lainnya. Beberapa juga berbicara dengan kakak-kakak yang datang. Suasana kelas cukup ramai. kursi kelas hampir penuh oleh anak-anak yang tidak berseragam. Ya, ini Sabtu. Ini merupakan kegiatan mengajar yang dilakukan oleh suatu acara di kampus ku. Hari ini, aku mencoba menjadi volunteer.
“Jadi, kalian nggak boleh buang sampah sembarangan lagi karena akan menimbulkan bau yang akhirnya menjadi sarang penyakit”, seorang pembicara menjelaskan kepada anak-anak. Ditampilkannya gambar-gambar yang menarik untuk mereka.
Mereka semua mengangguk kompak, meskipun umur mereka berbeda-beda. Aku berkenalan dnegan slaah satu darinya, ia duduk di bangku kelas 4. “Rara teh”, jawabnya ketika aku menanyakan namanya.
Aku tersenyum ke arahnya. Rambutnya yang lurus dikuncir seperti ekor kuda. Ia berbisik-bisik dengan teman sebelahnya dan kemudian tersipu-sipu. Aku tertawa melihatnya dan mencoba mengabadikan momen tersebut. Kegiatan mengajar di sekolah ini berlangsung singkat. Sebagai penutup, kak syifa meminta agar mereka menampilkan sebuah nyanyian di depan kelas. Dua aorang anak perempuan mencoba menunjukkan dirinya. Aku tidak terlalu mengerti lagu yang mereka nyanyikan. Yg aku dengar, mereka menyebut-nyebut kata ‘banana’. Aku hanya mengambil gambar mereka dan tak sempat mengambil videonya, ah sayang sekali.


Saat kegiatan usai, aku mencoba melihat sekeliling kelas. Anak-anak memang kreatif. Ku lihat gantungan-gantungan buatan tangan mereka sendiri terurai dijendela-jendela kelas. Aku membantu yang lainnya membereskan kursi-kursi yang telah dipakai. Beberapa kursi harus dikembalikan ke kelas sebelah. Ku angkat satu kursi ke dalam kelas sebelah. Aku melihat kerajinan tangan yang lebih banyak didalam kelas ini. Rara, anak perempuan yang tadi berkenalan dengan ku menghampiriku.
“kamu bisa bikin ini?”, tanya ku sambil menunjuk burung-burung kertas yang terpajang di jendela.


“bisa teh”, jawabnya seraya tersenyum
“Wah...hebat. siapa yang ngajarin rara?”, tanya ku lagi
“Bu guru”, ia menjawab tanpa melihat ke arah ku, tangannya asyik bergerak memainkan kertas bekas yang akan dijadikn burung-burung kertas.
Ia memberikan ku burung-burung kertas kemudian pergi begitu saja. Aku mengambil burung-burung kertas dan menyimpannya di dalam tas. Ku tinggalkan ruang kelas dan kembali beraur dengan yang lain.  
Aku berfoto bersama yang lain dihalam sekolah. Kebanyakan dari mereka berasal dari jurusan komunikasi. Ku abadikan sudut-sudut di sekolah itu, entah kenapa sekolah ini amat berkesan bagi ku. Rasanya aku ingin kembali kesini dan lebih dekat dengan anak-anak disekitarnya.
Kami berjalan menuju kampus melewati sawah dan kebun. Berbeda saat kami datang kesini, ya, menggunakan angkutan umum.
“Wah, aku baru tahu loh kita bisa lewat sini!”, aku memasang muka antusias
“Kapan-kapan ikut kita lagi aja ya!”, ajaknya. Tapi ia bukan syifa.
Aku menggangguk seraya tersenyum. Sesekali kulirik syifa, ia asyik dengan kameranya.
Aku tiba di asrama kampus setelah satu jam berjalan, ditambah dengan mampir kesana-kemari. Badan ku letih bukan main. Ku ambil burung kertas yang tadi, ku letakkan di atas meja belajar. Burung kertas itu terus tergeletak disana.
Meja belajar ku semakin berkesan dengan satu burung kertas. Ku lihat, burung itu telah nampak berdebu. Entah kenapa aku tak ingin membuangnya. Warnanya pun sudah usang. Sudah berbulan-bula burung itu tergeletak disana. Aku mencoba mengingat apa yang sempat diceritakn oleh anak-anak di tempat ku menjadi volunteer. Ada yang bercerita bahwa mereka akan tampil di kampus, entah acara apa. Aku benar-benar lupa.  
Sekian lama burung kertas itu berada di meja belajar ku. aku tetap belum membuangnya meski berdebu.
 Sejak aku sibuk dengan beberapa tugas, aku hampir mengubur keinginan ku untuk mengajar. Keinginan ini kembali muncul saat bertemu anak-anak kecil dikantin. Aku mencoba mendaftar menjadi tenaga pengajar non volunteer di salah satu tempat les. Sayang sekal, belum rezeki.  
Oh ya, ada satu kegiatan yg menurut ku bagus untuk dilakukan. Ya , kepo. Aku sering sekali memantau akun tweet kampus untuk mendapatkan info-info. Hasil dari kepo tersebut, aku memfollow Sanggar Juara, sebuah komunitas yang berbasis pendidikan dan lingkungan. Aku mencari-cari info mengenai sanggar juara, melalui tumblr, bahkan mengontak untuk menjadi volunteer, tapai sayang aku tidak mendapat respon.  Aku menunggu sampai tiba open recruitment dari Sanggar Juara. Dan.............................aku masuk!
Kegiatan mengajar Sanggar Juara berlangsung disetiap pekan. Dihari Sabtu, SJ mengajar di Desa Pabuaran. Sementara itu, di Hari Minggu, SJ mengajar didaerah Situ Leutik. Aku hanya bisa datang pada hari Minggu untuk turun lapang perdana ini. Kami berjalan kaki melewati sawah dan kebun. Sesampainya disana, ternyata sekolah tersebut adalah sekolah yang pada waktu itu aku datangi. Anak-anak berlarian menghampiri kakak-kakak yang sudah mereka kenal sebelumnya. Saat masuk didalam kelas, mereka menyanyikan lagu “Open Banana”. Aku tersenyum selama kegiatan berlangsung. Mungkin ini yang dapat disebut dengan intuisi. Ya, pada dasarnya, kita memang memiliki kewajiban untuk mencari dan berhak mendapatkan apa yang telah kita cari. 


Friday, April 12, 2013

Untuk Calon Ibu


Ia datang bersama seorang bapaknya. Sudah jelas pasti itu ayahnya. Digandengnya tangannya seraya membawakan tas punggung. Ia masih sangat kecil, mungkin masih duduk di Taman Kanak-kanak. Aku memperhatikan ia yang begitu menggemaskan. Blue jeans yang dikenalan disepadankan dengan kaos mungilnya. Sepatu ketsnya mendukung aktifitasnya hari ini.

“Duduk sini”, samar-samar ku dengar ayahnya mengajak ia duduk di bangku sebelah.

Ia mengangguk angguk dan mencoba duduk manis. Dibukanya menu makanan yang ada di hadapannya. Aku berlagak sibuk sambil sesekali memperhatikannya.

“Mau roti bakaaaaaaaaar”, kayanya sambil menunjuk gambar roti bakar dengan taburan keju

“hmm...masa roti? Nasi aja deh”, jawabnya membuka-buka halaman menu

Aku tersenyum mendengar ucapan sang ayah. Ada satu hal yang perlu diketahui seorang bapak, bukan hanya seorang ibu. bahwasanya roti terbuat dari karbohidrat, sama seperti nasi. Hanya saja, jumlah karbohidrat pada nasi sedikit lebih bnayak dibandingkan dengan roti.
Aku menikmati hidangan ku yang datang. Teh tubruk menjadi teman yang lengkap dengan hidangan kali ini. Restoran sore ini cukup ramai, beberapa orang berdatangan dan memesan roti bakar. Ku lihat pelayan yang mondar mandir membawa roti bakar diatas nampannya.
Hidangan ku sudah habis. Tapi entah mengapa aku tak ingin beranjak pergi. Niat ku untuk berbelanja di salah satu mall yang ada didaerah Bogor tiba-tiba saja hilang.
Ku tengok meja sebelah. Sang ayah sedang berusaha menyuapi ia. Ia tak mudah untuk diam. Seringkali beranjak dari kursinya dan berlari ke etalase mainan yang ada direstoran tersebut. Mungkin mainan tersebut sangat unik n=baginya di era ini. ya, restoran dengan nuansa jadul ini juga menjual beberapa barang-barang lama dan mainan-mainan lama. Aku suka. Disini, tersedia mainan congklak, mobil-mobilan dari kayu, masak-masakan dari eceng gondok, dan segala sesuatunya yang berbau hand made. Oh ya, masih ingat cokelat ayam jago? Restoran ini menjualnya. Mungkin dulu dapat dijumpai dengan harga 500 rupiah. Tapi sekarang, disini dijual seharga 13000 rupiah per 3 bungkus.  Aku tadi sempat melihat-lihat etalse bagian makanan-makanan yang ngetrend dizamannya.
Aku kembali melirik sebelah meja yang menurutku lebih menarik dari restoran ini. ku lihat anak itu melepas sepatunya dan menaikkan kakinya di kursi. Aku tersenyum melihatnya. Ia yang menurutku calon ganteng tersipu malu dan menutup muka dnegan bantal yang ada dikursi. Satu hal yang menjadi pertanyaan ku adalah: dimana ibunya?

Ku lihat ia sudah tak mau menyantap satu sendok yang diberikan sang ayah. Sang ayah mencoba memaksanya tapi ia tak mau dipaksa. Di biarkannya satu piring besar nasi goreng tergeletak di mejanya. Sang ayah mengerjakan sesuatu dan ia kembali berlarian di dekat etalase mainan.  Satu hal yang terbesit dipikiranku: mungkin ibunya akan datang.
Aku bengong sambil menghabisi teh tubruk yang menjadi andalan restoran ini. mata ku mengarah pada pintu masuk restoran. Seorang perempuan berbaju batik dan kerudung cokelat datang menghampiri meja sebelahku. Dicium dan dipeluknya ia. Ah benar saja. Ibunya datang. Ku tebak, ibunya pasti baru saja pulang kerja. Biasanya, orang kantoran mengenakan baju batik di Hari Jumat.

“Gimana seneng nggak jalan sama ayah?”, kata sang ibu sambil duduk di depan ayah dan ia.

Aku tak mendengar jawaban dari ia. Ia menarik tangan ibunya, mengajak sang ibu melihat-lihat mainan. Kemudian mereka kembali lagi ke ayah dan ketiganya asik mengobrol. A simple happy. Di sudut meja sana kuliah juga seorang ayah bersama seorang anak laki-lakinya. Satu piring roti bakar disantap berdua. Sesekali sang ayah memeluk anaknya. A simple happy. Kata ku lagi dalam hati. Aku mencoba menebak lagi kemana ibunya. Mungkin sedang berbelanja. Tapi aku tak sempat melihat ibunya. Aku harus segera pulang. Aku keluar dari mall menuju terminal. Duduk di deretan 2 kursi di bis adalah pilihan yang tepat ketika pulang sendirian. Aku masih teringat kebahagiaan kecil yang tadi. Segala sesuatunya memang akan terasa menyenangkan jika kita menikmatinya.

“Halo na, ini ibu”, ku dengar perempuan disebrang ku berbicara melalui telefon genggamnya.

Ku rasa, suaranya cukup terdengar disekitarnya. Nada suara perempuan itu begitu menggebu.

“Tadi kamu pakai tempat minum ibu yang Starb*cks? Kok di pake sih? Tadi tuh ibu taro disitu supaya dicuci”, katanya dengan nada tinggi.

Suara disebrang telefon menanggapinya.

“Ya ibu kan biasanya pakai itu na. Kamu tuh, kenapa dipakai sama kamu. Ibu beli itu mahal”.

“Ya masa nggak dicuci-cuci. Kamu taro sekarang, simpen. Mahal itu harganya”, sambungnya, nada suaranya semakin tinggi dan semakin terdengar di bis.

Aku melirik ke arah perempuan itu. Tak ada salam, tak ada kata-kata yang menunjukkan kasih sayang. Mungkin saat sampai dirumah, tak ada pelukan dari ibunya, tak ada ciuman dari ibunya. Sebuah keterbalikan dengan kejadian di restoran tadi. Bahwasanya ada yang lebih penting dari sekadar tempat minum mahal. dan tak selamanya segala hal dapat dibeli dengan uang. Apalah arti sebuah tempat minum mahal. untuk kamu yang akan menjadi seorang ibu, akan ada di posisi yang manakah?

Selamat berakhir Pekan!

Cheers,

Monday, April 8, 2013

cerita tentang kau


Saat langit sore mulai gelap
Engkau selalu bercerita
Tentang burung yang bermigrasi jauh
Engkau lantunkan nyanyian
Seiring angin yang mengibas rambutmu
Menjadi satu nada sempurna

Mungkin engkau tak tahu dimana
Sudut mata ku melihat
Saat ranah kita tanpa sinar matahari
Kau terus bercerita

Kini rembulan menghiasi senyummu
Kau semakin elok dengan cerita mu
Engkau bacakan bait-bait suara hati mu

Kau terus bercerita
Bintang di pelupuk mata ku
Hanya engkau
Kau tak henti bercerita
Sampai aku ingin selalu terjaga

Kau bercerita
Dan ku sampaikan pesan ku pada
Tatapan penuh rindu
Karena aku tak selamanya mendengar,
Tak selamanya ada